Tatkala pariwisata mau dibuka, untung atau buntung? Menjawab pertanyaan tersebut, tentulah penulis pilih untung dan tak buntung. Ini yang mesti ditegaskan, rerata setiap usaha atau akan berorientasi pada profit atau keuntungan. Namun harap digarisbawahi, masih saja terbit usaha yang tak sepenuhya berkiblat pada keuntungan. Perusahaan-perusahaan besar pun tak melulu mengejar laba sebesarnya, tapi mereka juga belajar memikirkan tanggungjawab sosial korporasinya.
Begitu juga dengan usaha pariwisata, selain menjadi ladang mendatangkan uang, sektor satu ini pun sanggup memberikan penghiburan, edukasi maupun terapi. Magnet pariwisata sebagai penggulung uang banyak diakui  negara, pengusaha bahkan masyarakat. Betapa tidak, pariwisata dengan efek dominonya berkesempatan memekarkan bisnis, seperti kuliner, homestay, kursus Bahasa, sekolah kepribadian, kerajinan/cinderamata, konveksi, kelompok seni budaya, perhotelan, transportasi, dll,
Beberapa waktu ketika negeri ini diguncang balak corona, sektor pariwisata rupanya juga tak bisa berdiri tegak, Ia melambat dan gontai bahkan tertatih. Dampak itu membawa konsekuensi terhadap penutupan tempat wsiata, pengurangan tanega kerja pariwisata, penurunan pendapatan, pelemahan okupansi hotel, berkurangnya pemasukan negara, pemda hingga desa, dll.
Kini keadaan sudah masuk pada tahapan new normal, Â artinya kita tetap wasapada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan (prokes). Tak perlu terburu-buru membuka waktu untuk melansir pariwisata kembali. Langkah penting di sini bukan soal pembukaannya tapi lebih pada penyiapannya.
Hal ini membawa kita pada Abraham Lincoln (dulu Presiden AS) yang pernah mengatakan, "Jika saya harus enam jam menebang pohon, maka saya akan menghabiskan tiga jam pertama untuk mengasah kapak saya dan tiga jam terakhir untuk menebang pohon-pohon." Betapa pentingnya menyiapkan segala sesuatunya agar lebih aman, tertib dan semakin mendapatkan kepercayaan masyarakat. Misalnya, pengelola pariwisata sudah seharusnya membuat aturan baru dengan tatacara baru bahkan paradigm baru dengan tetap memedomani protokol kesehatan dari pemerintah.
Beberapa step bisa ditempuh untuk mengawal sektor pariwisata ini ketika mau dibuka kembali. Sekurangnya dimulai dengan adaptasi baru praktik prokes, sosialisasi petunjuk teknis dan petunjuk perasional, simulasi, dan uji coba hingga dibukanya wisata atas seijin satgas corona dan atau pemda setempat. Barangkali pada fase awal operasionalnya secara terbatas.
Ini semua mesti dilakukan pengawasan secara serius. Karena bukan saja soal profit tapi juga menyangkut pertaruhan nama besar pariwisata dan terpenting adalah keselamatan jiwa raga pengunjung, petugas, crew maupun pengelola wisata.
Pada era new normal di tengah pandemi ini paket-paket pariwisata maupun pengelola wisata alam dan pedesaan (back to nature) menjadi pilihan favorit pengunjung. Ada agrowisata,wanawisata, wisata gunung, pantai, praktik adat seni budaya desa, seperti merti desa, bertani, beternak di desa juga menarik dikemas menjadi menu pilihan yang tak kalah larus manis.
Wisata bernuansa desa dan tradisional atau klasik rupanya juga digemari dan dicari para wisatawan di tanah air dan mancanegara. Di negeri ini ada beragam ramuan jamu, ramuan rempah, obat tradisional maupun tanaman kesehatan. Sopot-spot itu pun menjadi bagian pundi-pundi ekonomi masa pandemi.
Destinasi Virtual
Untuk pengamanan dan keselamatan bersama di era new normal yang acap masih dicemaskan dengan virus corona, maka kemudian perlu kiranya kita menerapkan pembayaran tiket wisata dengan cara non tunai dan pembelian tiket secara elektronik atau online. Hal ini akan memutus penyebaran virus pandemi sekaligus mengontrol kuota.