Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Maafkan Aku

7 Agustus 2020   07:40 Diperbarui: 7 Agustus 2020   07:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

(Dorothty Law Nolte)

Sudah berapa jumlah anak yang terlibat narkoba, berapa banyak anak yang terjebak kriminal, berapa anak yang melakukan tindak kekerasan, berapa puluh anak yang tega memolisikan orangtua, berapa rekap anak yang membunuh ibunya, gurunya dan berapa lagi jumlah anak durhaka di zaman now. Penulis ngelus dada, sudah tak terhitung lagi, rasanya.

Sejumput pertanyaan itu serasa mencecar uluhati kita sebagai orangtua atau yang dituakan. Lalu pertanyaannya kemudian adalah mengapa anak-anak tersebut demikian keji dan di luar nalar publik. Kita merasa ditelikung.

Ada setumpuk hal yang menjulurkan mereka berperilaku sedemikian buruk. Anak-anak bengal tersebut rasanya tak fair jika harus diadili sendirian, tapi bolehlah kita mengurai akar soalan yang membawa mereka sampai melakukan tindakan di luar kewajaran, di luar batas naluri dan nalar anak.

Barangkali jika mau berintrospeksi, faktor bahasa turut menjadi penopang mengapa anak-anak jadi sedemikian bengis. Bahasa orangtua di rumah maupun guru di sekolah secara tak langsung turut berproses mengganjal anak-anak dalam bersosial. 

Bahasa yang membentak, suara yang keras dan kasar, ekpresi yang acuh juga bahasa-bahasa yang merendahkan potensi dan harga diri anak pun tak bisa dipungkiri menjadi bagian pemicu banalnya anak-anak.

Pada aras di bangku sekolah, jika lingkungan belajarnya, tepatnya sang guru tak punya kreasi dan inovasi dalam mengelola kelas, bukan mustahil sang guru bakal disepelekan anak-anak. 

Rutinitas, gaya regular dan bukan out of the box menjadi alasan kuat ketika anak-anak menggugat pendidikannya dengan cara-cara kontra produktif, misalnya tidur, malas-malasan di kelas, tak memperhatikan guru, mengabaikan nasihat guru dan ketika hanya monoton tanpa hadirnya suasana yang menggembirakan, lagi-lagi jangan harap anak-anak akan senada dengan harapan para guru maupun pihak sekolah apalagi orangtua.

Perilaku guru di sekolah menjadi pusat pijakan anak-anak, di dalam dan di luar sekolah. Jika guru suka melecehkan anak-anak di hadapan teman-temannya, maka tak menutup kemungkinan guru juga bakal menerima hal sama di forum terbuka yang diinisiasi oleh anak-anak, mungkin spontanitas juga.

Di sinilah pentingnya integritas pendidik, terdapat keutuhan atau kesatuan ucapan, pikiran dan tindakan. Trilogi itu selalu dipegang betul oleh anak-anak sebagai pemandu dalam saat-saat terdapat upaya-upaya melemahkan eksistensi diri anak. 

Di luar itu semua, pengawasan atau kontrol terhadap pergaulan teman-teman sebaya menjadi sangat penting dilakukan, karena  daya dorong dan pengaruh peer group ini jauh lebih hebat ketimbang orangtua dan guru. Atas nama solidaritasm anak-anak bersama kawan sepantaran acap terjebak pikiran sesat, tindakan kalap dan low attitude lainnya.

Kadang jati diri anak-anak tergerus, tereduksi tanpa pernah disadari yang bahkan sampai mereka mati gaya dan mati rasa. hatinya sudah keras, membatu dan sulit menjadi lumer kecuali ada orang-orang yang dengan sukarela memberikan pendekatan dengan egalitarian dan humanis. 

Menghapus jarak guru-murid dan orangtua-anak, namun tetap dalam koridor santun dan hormat pada mereka yang lebih tua, apalgi terhadapa para gurunya.

 Gaya hidup glamour dan instan pun turut memacu adrenalin anak-anak untuk memenuhi keinginannya tanpa berpikir panjang soal risiko dan norma apalagi hukum. Ini bagian dari kekurusan kita dalam mengelola pendidikan, mengurus anak-anak, menggulowentah anak bangsa.

Mereka tak jarang melabrak aturan yang ada demi dianggap pahlawan atau jinggo dihadapan koloni kawannya. Perkawanan yang salah membawa anak-anak teralienasi atas budaya dan sikap hingga tindakannya.

Tinggal Kelas       

Adakalanya, orangtua dan guru mengalami jalan buntu (deadlock) dalam mengurus anak-anak ini bahkan hingga menguras hati dan airmata, ada baiknya kita melihat kisah film "Ibu Maafkan Aku." 

Dikisahkan, seorang ibu yang sederhana, tinggal di desa, rela menjalani profesi sebagai pemecah batu tidak sekedar untuk dapat bertahan hidup, namun agar anak-anaknya dapat sekolah setinggi mungkin, hingga jerih payah kerja kerasnya berhasil menghantarkan anak-anaknya jadi orang sukses.

Kasih sayang dan perjuangan seorang ibu memang tiada hentinya. Bertarung nyawa mengandung dan melahirkan anaknya, terus bertarung mengasihi dan membesarkan anaknya, terlebih disaat ditinggal suami tercintanya, ibu bertarung tanpa lelah membesarkan anak-anaknya hingga menjadi orang dengan cara yang tulus dan bijaksana.

Ada adegan yang menarik, saat anaknya Banyu telah menjadi pilot, Gendis menjadi dokter, sementara anaknya yang bungsu Satrio tidak naik kelas. Hartini, sebagai Ibu menghibur hati anaknya Satrio dengan bijaksana. 

"Kamu tidak naik kelas tidak apa-apa, yang penting kamu tidak tinggalkan sholat lima waktu," hibur Hartini sambil memeluk Satrio yang ketakutan akan marah besar ibunya begitu tahu ia tidak berprestasi jadi anak pintar seperti kakak-kakaknya.

Begitu pula, dalam kasus anak-anak "mursal," ini kita sebagai orangtua dan atau guru bisa mengambil pelajaran penting dari sequel film tersebut untuk kita terapkan dalam merawat nasib anak-anak kita dan menerima anak-anak kita apa adanya, tapi tentu kita tak akan pernah membiarkan masa depan anak-anak kita seadanya. Anak polah bapak kepradah. Mari seluruh pemangku kepentingan keroyokan menyelamatkan anak-anak kita, menjemput mimpinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun