Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Maafkan Aku

7 Agustus 2020   07:40 Diperbarui: 7 Agustus 2020   07:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di luar itu semua, pengawasan atau kontrol terhadap pergaulan teman-teman sebaya menjadi sangat penting dilakukan, karena  daya dorong dan pengaruh peer group ini jauh lebih hebat ketimbang orangtua dan guru. Atas nama solidaritasm anak-anak bersama kawan sepantaran acap terjebak pikiran sesat, tindakan kalap dan low attitude lainnya.

Kadang jati diri anak-anak tergerus, tereduksi tanpa pernah disadari yang bahkan sampai mereka mati gaya dan mati rasa. hatinya sudah keras, membatu dan sulit menjadi lumer kecuali ada orang-orang yang dengan sukarela memberikan pendekatan dengan egalitarian dan humanis. 

Menghapus jarak guru-murid dan orangtua-anak, namun tetap dalam koridor santun dan hormat pada mereka yang lebih tua, apalgi terhadapa para gurunya.

 Gaya hidup glamour dan instan pun turut memacu adrenalin anak-anak untuk memenuhi keinginannya tanpa berpikir panjang soal risiko dan norma apalagi hukum. Ini bagian dari kekurusan kita dalam mengelola pendidikan, mengurus anak-anak, menggulowentah anak bangsa.

Mereka tak jarang melabrak aturan yang ada demi dianggap pahlawan atau jinggo dihadapan koloni kawannya. Perkawanan yang salah membawa anak-anak teralienasi atas budaya dan sikap hingga tindakannya.

Tinggal Kelas       

Adakalanya, orangtua dan guru mengalami jalan buntu (deadlock) dalam mengurus anak-anak ini bahkan hingga menguras hati dan airmata, ada baiknya kita melihat kisah film "Ibu Maafkan Aku." 

Dikisahkan, seorang ibu yang sederhana, tinggal di desa, rela menjalani profesi sebagai pemecah batu tidak sekedar untuk dapat bertahan hidup, namun agar anak-anaknya dapat sekolah setinggi mungkin, hingga jerih payah kerja kerasnya berhasil menghantarkan anak-anaknya jadi orang sukses.

Kasih sayang dan perjuangan seorang ibu memang tiada hentinya. Bertarung nyawa mengandung dan melahirkan anaknya, terus bertarung mengasihi dan membesarkan anaknya, terlebih disaat ditinggal suami tercintanya, ibu bertarung tanpa lelah membesarkan anak-anaknya hingga menjadi orang dengan cara yang tulus dan bijaksana.

Ada adegan yang menarik, saat anaknya Banyu telah menjadi pilot, Gendis menjadi dokter, sementara anaknya yang bungsu Satrio tidak naik kelas. Hartini, sebagai Ibu menghibur hati anaknya Satrio dengan bijaksana. 

"Kamu tidak naik kelas tidak apa-apa, yang penting kamu tidak tinggalkan sholat lima waktu," hibur Hartini sambil memeluk Satrio yang ketakutan akan marah besar ibunya begitu tahu ia tidak berprestasi jadi anak pintar seperti kakak-kakaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun