Membaca kemurungan latar belakang orang tua/keluarga di atas dengan berbagai perkaranya, rupanya masih relevan dihadirkan belajar via konvensional dengan memberikan tugas-tugas ringan dan menyenangkan, sekurangnya bagaimana lifeskill (kecakapan hidup) siswa naik derajatnya.
Jemput Bola
Melalui model demikian tak perlu beramai-ramai mengumpulkan tugas ke guru/dosen, tapi sekarang paradigmanya mesti dibalik. Sudah saatnya guru yang keliling jemput bola, menghampiri dan mengumpumpulkan tugas siswa/mahasiswanya, anggap saja selayaknya home visit, seperti guru-guru bimbingan konseling 20 tahun silam saat saya masih bersekolah.
Salut pada kawan-kawan guru yang mendatangi rumah murid-muridnya yang tak punya HP atau tak mampu membeli kuota internet, dengan cara belajar bersama pada kelas yang sama yang berdekatan. Para guru ini cukup sabar, ulet dan punya sense of crisis atas pandemi covid-19.
Maka kemudian, bantuan kuota internet, peluasan sambungan jaringan listrik PLN maupun subsidi pemasangan listrik gratis sangat dibutuhkan bagi warga pedesaan, terpelosok bahkan miskin. Inilah saatnya semua bergerak menyelamatkan generasi bangsa pemanggul kepemimpinan masa depan bangsa secara keroyokan pentahelix lewat aras academician, bussines, government maupun community (ABG+C). Syukur plus media plat merah maupun partikelir. Jangan sampai kondisi ini meringkus modal sosial kita yang bernama gotong royong.
Bantuan maupun hadiah laptop seperti yang sudah dicontohkan para elit wajib dirawat dan diteruskan. Begitu juga Menara-menara provider selular mesti eskalasinya di tambah hingga ke wilayah gunung, lembah maupun ceruk-ceruk pedesaan, dana desa juga bisa menyentuhnya melalui bantuan beasiswa bagi anak miskin atau bantuan usaha bagi warga miskin. Ke depan, tak ada rintih di atas daring kita, PJJ bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H