Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan negara. Di dalam konstitusi, dimuat nilai dan norma yang disepakati bersama seluruh warga negara untuk dijadikan rujukan tertinggi dalam bernegara.Â
Dalam kerangka itulah, undang-undang dasar biasa disebut sebagai kontrak sosial atau perjanjian bersama tertinggi dalam negara. Konstitusi mengandung kesepakatan-kesepakatan umum yg menjadi dasar dan patron dalam menyelenggarakan negara untuk mencapai tujuannya.
Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, para perumusnya mengikhtiarkan agar konstitusi dibangun sesuai dengan karakter bangsanya. Meskipun para perumus Undang-Undang Dasar menggunakan referensi konstitusi berbagai negara, namun terdapat usaha sungguh-sungguh sedapat mungkin materi muatan konstitusi menggambarkan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri.
Pada konteks ikhtiar inilah, nilai-nilai agama khususnya nilai-nilai universal Islam sebagaimana yang dianut mayoritas bangsa Indonesia yang telah membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia memberi warna dan kontribusi dalam proses perumusan nilai dan norma konstitusi.
Pada saat pendiri negara ini berembug merumuskan konstitusi negara kita, banyak sekali perdebatan namun akhirnya titik temu dapat disepakati, walaupun hal tersebut masih dan terus saja diperdebatkan hingga sekarang.
Menguraikan sejarah perjalanan nilai-nilai agama, khususnya agama Islam dalam konstitusi, pada dasarnya merupakan bentuk perjuangan eksistensi. Tidak dapat dipungkiri, jauh sebelum terlembagakan dalam bangunan negara, Islam secara kultural telah berakar dalam kesadaran hukum masyarakat dan telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Indonesia.
Di masa menjelang kemerdekaan, diskursus tentang Islam menjadi lebih bersifat struktural karena masuk ke wilayah legal-konstitusional. Bahkan, keberadaan nilai-nilai Islam berhasil diperjuangkan dalam konstitusi yang ditandai oleh tercapainya gentlemen aggrement atau dikenal dengan Piagam Jakarta.
Piagam ini diusulkan menjadi preambule UUD 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam piagam ini pula, terdapat formulasi sila pertama Pancasila dengan yang menyatakan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syar'iat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Sungguh pun demikian, kesepakatan atas Piagam Jakarta tidak berjalan mulus karena diwarnai perdebatan dalam sidang BPUPKI. Terlepas dari perdebatan tersebut, penting untuk diketahui bahwa "delapan kata" yang terkandung dalam Piagam Jakarta menyiratkan suatu kesepakatan diantara para founding fathers mengenai tata hubungan negara dan agama.
Akhirnya, "delapan kata" dalam Piagam Jakarta diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini merupakan kompromi dan jalan tengah yang paling bisa diterima oleh para founding father pada saat itu.
Meskipun tanpa memuat delapan kata dari Piagam Jakarta, eksistensi ideologi agama, khususnya agama Islam, secara nyata  tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat falsafah dasar negara, yakni pada sila pertama yang menyatakan, "Ketuhanan yang Maha Esa". Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, dengan dianutnya konsep Negara Hukum Pancasila yang mengakar pada konstitusi menunjukkan ada keseimbangan antara negara, hukum, dan agama.
Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila dan menjadi Causa Prima dari sila-sila yang lainnya.
Hal tersebut sejalan dengan kalimat di dalam Alinea Ketiga Pembukan UUD 1945, "Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa...," yang bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi motivasi spritual bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa.Â
Inilah pengakuan religius yang menandakan bahwa Indonesia mengakui nilai-nilai agama yang sekaligus dijadikan sebagai dasar dalam membangun hukum positif negara maupun dasar moral negara.
Titik Temu Nilai
Dari tinjauan historis di atas dapat disimpulkan bahwa kosmologi kehidupan bangsa Indonesia telah menjadikan nilai agama yang penting dan strategis dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Nilai itu bahkan melembaga baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan dan praktek penyelenggaraan negara Indonesia.
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arah politik hukum terhadap pembangunan bidang hukum Islam dengan jelas.Â
Dengan merujuk pada prinsip "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada dasarnya merupakan amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan nilai-nilai agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
Ini juga sebagai bentuk penegasan adanya jaminan dari negara kepada setiap penduduk untuk dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.Â
Artinya, negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi seluruh agama dengan hukum-hukumnya, dan melindungi serta melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Hal yang tak dapat dibantah adalah cita-cita batin, suasana kejiwaan, dan watak rakyat Indonesia banyak dibentuk oleh ajaran agama Islam. Dari pengalaman pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, terdapat gambaran bahwa ajaran agama Islam dan ketentuan-ketentuan hukumnya dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah hukum nasional.Â
Hal ini menjadi bukti bahwa nilai agama Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara yuridis konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan ruang apresiasi yang kuat dan cukup memadai bagi berkembangnya nilai-nilai Islam dalam hukum nasional.Â
Ibarat sebuah rumah besar Indonesia, dapat dikatakan Pancasila adalah pondasinya, tiangnya adalah UUD 1945, atapnya adalah NKRI dan isinya adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Kedepan, kita harus membulatkan tekad benar - benar menjadikan konstitusi sebagai landasan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terus tanamkan nilai-nilai konstitusi terutama Pancasila dan UUD 1945 sejak dini kepada anak-anak kita, sembari memberikan keteladanan pada mereka.
Mari kita ajak semua elemen bangsa termasuk mahasiswa, akademisi, budayawan, tokoh agama, seniman, wartawan, tokoh adat, dan semua komunitas agar Pancasila dan UUD 1945 bisa menjadi titik temu nilai bersama. Mainkan peran dan strategi yang menarik dalam membumikan konstitusi kita.
Penggunaan pendekatan yang lebih demokratis, partisipatoris, solutif dan kreatif melalui berbagai metode, seperti strategi kebudayaan dan sosial-ekonomi, akan menjadi upaya kunci agar masyarakat semakin mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi kita. Kita harus terus mensosialisasikan dan memastikan konstitusi bisa terlaksana secara konsisten dan kreatif dalam masyarakat yang dinamis di republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H