Kekalahan calon tunggal di atas jelas bakal menjadi masalah bagi parpol pengusung. Dan tidak menjadi masalah bagi kematangan demokrasi di negeri ini.Â
Kekalahan tersebut, sekurangnya menjadi momentum calon dan parpol untuk melakukan ootokritik. Apa yang telah diperbuat dan lakukan untuk mencuri hati sang kekasih, ya rakyatnya. Jangan sampai rakyat berpaling ke lain hati, parahnya lagi bahkan melabuhkan pilihannya ke kotak kosong.
Hal lain yang juga menyokong lahirnya calon tunggal adalah kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan, terutama bagi calon perseorangan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 29 September 2015, menentukan calon perorangan harus mengumpulkan KTP sebanyak 10 persen di daerah dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT mencapai 2 juta orang, 8,5 persen di daerah dengan DPT antara 2-6 juta, 7,5 persen di daerah dengan DPT 6-12 juta, dan 6,5 persen di daerah dengan DPT di atas 12 juta orang. Syarat ini jelas tak mudah dipenuhi.
Ketua DPRD salah satu Kabupaten 2017 silam pernah menyerukan untuk bersama-sama memenangkan kotak kosong dalam Pemilihan Bupati (kompas.com, 29/11/2016).
Bagi calon tunggal jangan terlalu sombong, data di atas dapat menjadi pelajaran bagi calon tunggal. Untuk pendukung kotak kosong tidak perlu berkecil hati, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Pilkada dinamis tunduk pada hasrat pemilih.
Pada akhirnya, pemilihan tanpa kontestasi, itulah wajah lain demokrasi kita hari ini. Maka kemudian kita sesungguhnya butuh edukasi, awareness dan kedewasaan demokrasi. Mari kita bangun keriangan dan kemajuan politik lewat pilkada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H