Dunia pendidikan kita kian hari kian jauh dari ibu kandungnya, yaitu masyarakat dengan setumpuk harapannya. Dulu ada  sekolah RSBI (sudah closing beberapa tahun silam), kelas akselerasi (juga sudah diaborsi), sekolah favorit dan pinggiran. Semua itu hanya menciptakan kelas-kelas sosial baru, atau kokohnya monumen-monumen kampus yang berlabel kerakyatan tapi tetap menggerus biaya pendidikan tetap mahal di era perguruan tinggi berbadan hukum, atau lagi tanpa diberlakukannya ujian nasional. Dengan kata lain bahwa yang menentukan kelulusan hanya guru atau sekolah, bukan angka akademik, sikap maupun psokomotor.
Pada belahan lain, soalan purba dan klasik, masih terdapat riak-riak kecil pada ranah pendidikan di level bawah, yaitu menyangkut teknologi informasi (TI) yang telah menjadi salah satu penanda kemajuan zaman, karena TI itu cukup signifikan dalam memberi kemudahan, efisiensi dan simple bahkan sudah merambah sebagai gaya hidup, salah satunya adalah handphone (HP). Barangkali nyaris semua sekolah melarang anak-anaknya ber-HP ria.
Perangkat TI yang disebut terakhir itu sudah akrab di kalangan anak-anak SD, baik di kota dan pedesaan. Sejak sangat awal barangkali orangtua membekali HP bagi anak-anaknya ke sekolah sederhana saja, biar mudah dihubungi dan dikontrol.Â
Namun demikian, beberapa sekolah secara terang-terangan melarang keras anak-anaknya membawa dan menggunakan teknologi tersebut di lingkungan sekolah. Alasan yang tidak logis dan berkesan dibuat menyaru dalam gelombang protes anak-anak dan orangtua/walimurid.
Pihak guru atau sekolah berkilah, jika lembaganya ingin melindungi anak didiknya dari sergapan komoditas yang belum boleh dikonsumsi usia anak-anak sekolah, seperti gambar-gambar adegan seks. Â
Atmosfer demikian kian mengeras di sejumlah sekolah, ketika merebak kasus-kasus gambar-gambar terlarang di-up load pada HP. Ingat kasus-kasus anggota dewan, artis-selebriti dan sequel-sequel "blue," nya pelajar dan mahasiswa juga adegan-adegan kekerasan dan atau tawuran yang jauh dari ruh pendidikan.
 Di satu sisi, anak-anak kita dorong cakap dalam mengelola diri dengan kemajuan TI tidak gagap teknologi (gaptek), melalui internet di HP, anak-anak bisa mengunduh dan atau membuka rupa-rupa pengetahuan dan wawasan baru dan konstruktif, meskipun di telapak lain juga ada sisi negatifnya.
Dengan razia, menyita HP anak-anak, setidaknya kita telah memberangus dan mengerdilkan perkembangan anak-anak. Sesungguhnya tidak perlu khawatir dan ketakutan yang tidak berdasar. Anak-anak kita bukan saja cerdas tetapi cukup pintar menyeleksi, mana yang baik dan buruk.
 Terpenting kita berikan kepercayaan kepadanya secara proporsional. Jika memang demikian, sudah menjadi bagian tanggungjawab kita untuk selalu mendampingi dalam aspek luas ketika anak-anak memanfaatkan TI itu.
Satu hal yang tidak layak dilakukan pihak sekolah atau guru, atau tepatnya guru bimbingan dan konseling yang acap merazia HP anak-anak di sekolah dengan kekhawatiran seperti disebut terdahulu. Payahnya lagi, guru-guru yang menyita HP tersebut kerap menyimpannya di tempat khusus atau bahkan dibawa pulang.
Keanehan semakin menggenang manakala, pada saat tertentu pihak orangtua/wali murid menghubungi anak-anaknya lewat HP, tidak tersambung dan menebalkan gundah dan sedikit gusar. Hebohnya lagi, lagi, guru yang bertanggungjawab atas HP tersebut tidak masuk atau dinas luar ataupun sudah pulang lebih awal ketimbang anak-anak. Hal ini menambah gemas orangtua/wali murid, dan menaikkan tensi cemas dan pikiran-pikiran buruk lainnya.