Selama ini kita tahu pemerintah telah berbuat banyak bagi masa depan anak-anak, terutama mereka yang berasal dari keluarga "minus."
Ada dana BOS, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Beasiswa, dana Bos, Bantuan Siswa Miskin (BSM), Bidik Misi, Beasiswa hingga doktoral lewat LPDP.
Kemudian pendidikan gratis segratis-gratisnya sistem boarding school seperti di SMKN Jateng, dll. Itu semua sekurangnya membantu keluarga miskin untuk menjulangkan cita-cita anak-anaknya setinggi langit.
Di luaran, problema anak-anak ini semakin menjadi-jadi. Tak jarang kita dipertemukan dengan kelompok anak-anak yang kurang beruntung.
Mereka anak-anak yang hampir sekujurnya dimuntahkan di jalanan bersama raungan motor dan yel-yel geng berikut egonya, di aras lain kita menjumpai pula anak-anak yang berkeliaran di asuh preman terminal, stasiun kereta, dll.
Pendeknya anak-anak ini nampaknya lebih senang dan puas bersama panasnya uap jalanan, lebih asyik masyuk bersama dinginnya malam bahkan mereka ini jauh lebih bahagia dan bangga dalam asuhan anak rembulan.
Pada lingkaran demikian barangkali dianggap tersyahdu bagi ukuran anak-anak ini. Karena dalam ingatan mereka di sini lebih ekspresif, bebas sebebas-bebasnya hingga acap terlibat dalam ekonomi underground, seperti perdagangan narkoba, kriminalitas, free sex, dll.
Miris, hampir setiap hari media kita memunguti berita anak yang menjadi aktor kekerasan maupun sebaliknya sebagai korban kekerasan.
Rupanya kita belum bisa fair dalam menyikapi kekerasan ini. Kita acap lebih peduli, caring terhadap anak korban kekerasan, sementara anak-anak pelaku kekerasan lagi-lagi acap harus menanggung beban derita di penjara anak-anak sendirian.
Karena yang disebut terakhir ini sudah bikin malu keluarga, dan bahkan kadang sampai tak pulang berhari-hari, hilang bahkan sampai meninggal pun tak dicari di mana rimbanya.
Memang secara frontal berbagai kemurungan terjal yang menindih anak-anak tersebut lebih pada kegagalan orangtua dalam mengedukasi para generasi penerusnya ini.