Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Turn Back Plagiarisme

15 Juli 2020   18:02 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:07 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum reda bahkan tuntasnya kasus  plagiarism di dunia perguruan tinggi, selalu membuncahkan diskusi hangat. Ingatan kita masih hangat merekam seorang Dwi Hartanto sang manipulis prestasi akademik dan mantan rektor UNJ, Djaali.

Menyusul dugaan sejumlah penyelewenangan program akademik, termasuk kasus plagiarisme di tingkat doktoral yang melibatkan lulusan berstatus pejabat negara, juga nepotisme dan otoriter, semakin membuat daftar kelam dunia akademik kita. Pelecehan dunia kampus atau pelacuran intelektual yang pelakunya justru dari kalangan intektual sendiri semakin masif. 

Dalam kasus di atas, pengoyak tradisi intelektual ini sah saja membela diri dan itu hak mereka. Namun, plagiarisme tetap plagiarisme. Hampir setiap tahun ada saja ulah yang mencoreng dunia pendidikan di tanah air ini. Masih ingat kasus perjokian Wabup Cilacap Tohirin Bahri pada ujian semester di Unsoed (2003),.Kemudian hanya untuk menggaet tunjangan sertifikasi dari pemerintah, dua guru di Pamekasan, Jawa Timur, menggunakan ijazah palsu lulusan S-1 (2013), maupun sejumlah 300 guru memalsukan sertifikat dan ijazah palsu di Tambora, Jakarta untuk disekolahkan di Bank (2017). Belakangan masih belum redanya kasus dugaan plagiarisme Rektor salah satu PTN di republik ini.

Bentuk kejahatan dugaan atau tuduhan plagiarisme sebelumnya, yakni pada koran Jakarta Post yang dilakukan oleh Agung Banyu Perwita (guru besar Unpar), dan plagiarisme yang dilakukan oleh Zuliansyah dari ITB. Bahkan Menristekdikti, Muhammad Nasir (2016) pernah menuturkan kasus pemilihan rektor bermasalah pernah terjadi di Universitas Sumatera Utara, Universitas Negeri Manado, dan Universitas Halu Oleo. Itu semua barangkali masuk dalam kategori pelecehan akademik.

Regulasi tentang pendidikan tinggi yang kita punya yang menyatakan Menteri memiliki hak suara sekian persen dalam pemilihan rektor barangkali juga mengiur atas problema ini. Universitas dengan semua proses internal sudah memilih sejumlah kandidat hingga tiga orang. Yang dipilih internal universitas dengan suara terbanyak belum tentu menjadi rektor karena ada suara dari menteri itu.

Kini, untuk penentuan rektor akan diambil langsung oleh bapak Presiden, tidak boleh Menristek Dikti. Menurutnya, supaya dalam upaya menentukan rektor yang sekian persen kewenangan Menristek Dikti itu hukumnya wajib konsultasi dengan Presiden. Inilah dibangun dalam upaya wujudkan kebersamaan.

Merebaknya praktik dagang atau jual beli pada dunia pendidikan ini menjadi preseden buruk bagi budaya akademik yang selalu kita junjung tinggi. Semestinya sosok-sosok kampus, kaum intelek ini sadar ketika jalan kotor yang ditempuh, bukan saja akan berakibat pada melorotnya kepercayaan sekaligus partisipasi masyarakat kepada dunia pendidikan tinggi.

Nampaknya deklarasi anti plagiat dan anti mencontek (2011) hanya isapan jempol belaka karena belum membumi dalam diri civitas akademika kampus. Jalan pikiran kita bercabang, mungkinkah jalan plagiarisme itu memang menjadi tujuan atau barangkali apa sesungguhnya tujuan mengabdikan diri di kampus.

 Sebetulnya payung hukum kita untuk mengaborsi praktik sesat plagiarisme sudah jelas, yakni Permendik 17/2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi mengatur tujuh sanksi untuk mahasiswa yang menjiplak karya ilmiah orang lain. Mereka yang telah lulus dari satu program studi dan terbukti plagiat diancam pembatalan ijazah.

Sementara sanksi lainnya diberlakukan untuk mahasiswa aktif, antara lain teguran, peringatan tertulis, dan pemberhentian secara tidak hormat. Indoesia ini memang luar biasa, setiap regulasi yang ada dipastikan orang selalu saja pintar membuat celah untuk menerabas rambu-rambu itu demi mengeruk uang, dan sebagainya.

Untuk itulah, kalangan kampus yang intelek dan sarat dengan berbagai gelar akademik maupun kenyang dengan budaya akademik sudah semestinya memahami dan mempraktikkan menjadi kampus yang menginspirasi, artinya mendorong masyarakat untuk menyontoh perilaku kaum kampus, tidak korupsi, gratifikasi dan pungli.

Juga menentang keras tradisi palgiarisme, jual beli gelar, ijazah maupun uang sogok mahasiswa baru, dll. Kita harus pinggirkan budaya instan. Di samping itu, pelaku atau aktornya, baik yang menerima gelar maupun yang memberi harus diberi sanksi sehingga martabat kampus pulih kembali.

Sejak Dalam rahim

Hormat dan bangga pada Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg mengundurkan diri setelah dia dilaporkan menulis tesis doktor yang sebagian besar adalah hasil contekan pada tahun 2006,  kemudian Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiarisme sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman. 

Demikian juga langkah Anggito Abimanyu, 2014 yang mengundurkan diri dari UGM setelah dituduh plagiaris. Ini menjadi lesson learn bagi kita semua atas pentingnya nilai prinsip kejujuran, kokohnya kebenaran tanpa kebohongan.

Beberapa penyokong maraknya iklim plagiarisme, yakni budaya instan kita yang pengin cepat lulus, naik pangkat dan prestise (dalam bahasa jawa : nggege mongso), juga rendahnya literasi karya ilmiah, khususnya kemampuan menulis (tidak percaya diri) maupun jebloknya integritas di kalangan akademisi, masyarakat dan barangkali sebagian elit kita.

Plagiarisme juga dipicu oleh terbatasnya diseminasi soal plagiarisme, permisifnya masyarakat dan kurangnya kontrol dosen pembimbing. begitu pula, problema sangsi bagi aktor plagiarisme belum cukup efektif menghentikan hasrat materialistik plagiaris.  

Plagiarisme tidak sebatas pada dunia akademik saja. Ada juga dalam dunia seni dan budaya, sastra juga teknologi. Menjadi mimpi kita adanya aplikasi yang terkoneksi dengan seluruh kampus negeri dan partikelir maupun luar negeri yang mampu mendeteksi sisi plagiarisme sekecil apapun. Mesin pendeteksi plagiarisme nampaknya juga belum cukup menyantuni moral akademisi.

Namun demikian, terpenting kita turut mencegah praktik tak terpuji oleh aktor intelektual dalam plagiarisme ini sejak dalam rahim, karena plagiarisme sama halnya praktik korupsi dini. 

Plagiarisme identik sebagai tindakan mengambil ide orang lain tanpa menyebut sumbernya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan korupsi yang mengambil jatah orang lain (hanya) memperkaya diri atau kelompoknya.

Mari kita dorong dan gerakkan kembali kolaborasi segiempat ABGC-academician, bussiness, government dan community, meringkus kejahatan intelektual, memberangus plagiarisme di tengah gemerlap pendidikan karakter yang disorongkan pemerintah.

                 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun