Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Rapid Tes Gratis

9 Juli 2020   12:19 Diperbarui: 9 Juli 2020   12:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedu sedan dan sukacita acap tiba dan hilang begitu saja. Selama kurun pandemi tak sedikit warga kita yang sumringah dengan tetap terjaga kesehatannya dan bebas dari sengatan virus covid-19. Sedangkan yang lain, sebagian warga harus menekur memetakan otaknya untuk mampu keluar dari covid-19 yang telanjur menjerat anggota keluarganya. Waktu terus berjalan, pandemi nampaknya masih saja menelan kasus-kasus baru, menebarkan berita duka lainnya yang tak bisa diselamatkan akibat deliquency covid-19, meski tak sedikit yang mengalami kesembuhan.

Di tengah kusamnya pandemi, angka-angka yang menggigil pun berdatangan meringkuk dalam kenestapaan warga miskin yang coba sedang dihalau seluruh pemangku kepentingan. Yang pasti, pandemi juga membuat kantong ekonomi kita gemetar. Pundi-pundi new normal risau beraduk gundah walaupun tak sempat ke level gusar.

Jaing pengaman ekonomi digelontorkan, jaring pengaman sosial ditebarkan hingga jaring pengaman kesehatan disematkan pada warga terdampak covid-19. Dalam Bahasa sederhana, arus bantuan sembako, bantuan sosial, bantuan langsung tunai maupun ragam bantuan dari instutusi pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah hingga menjangkau ke ruas-ruas caring perorangan mengalir dalam satu orkestrasi : membebaskan warga dari ancaman dan serangan pandemi.

Maksud hati memeluk gunung, apadaya tangan tak sampai. Barangkali itu ilustrasi atas berbagai upaya dilakukan untuk membahagiakan warga kita yang sedang berkesusahan, namun lagi-lagi uang kita masih sangat terbatas dan tentu butuh kerja gotong royong, keroyokan untuk memundurkan ganasnya covid ini.

Fobia Covid

Harus kita akui, pemerintah itu bukan David Coperfield atau Bandung Bondowoso yang mampu membalik keadaan dalam sekejap maupun semalam. Jadi harus disadari semua pihak, varian bantuan dana itu bukan sapu jagat. Untuk itu, kapital sosial kita harus digemukkan kembali sehingga dapat mengubah rintih menjadi ringkik riang. Di sinilah, kita mesti memberikan edukasi untuk tidak mengakmbinghitamkan pemerintah. Sebaliknya, kita harus memberikan apresiasi kepadanya yang sudah bekerja maksimal.

Di pusaran pandemi ini, tak sedikit seruan, ajakan, edaran, maklumat, edukasi dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli covid untuk tetap melakukan hal-hal konstruktif dan produktif. Selain tetap menempuh protokol kesehatan, bekerja dari rumah, belajar di rumah, tinggal di rumah, dll, meskipun kita sedang menuju new normal ini, kita harus berani menjulurkan mindset dan budaya bahkan tatanan baru dengan tetap melanjutkan ikhtiar-ikhtiar mulia kala pandemi menyeka kita.

Menjaga jarak, menghindari kontak fisik, menjauhi kerumunan maupun tidak melakukan sharing peralatan kerja dengan kawan-kawan. Itu semua ditempuh hanya karena kita ingin semua sehat, menekan penyebaran maupun mata rantai covid-19. Pola-pola dan perilaku hidup sehat jau lebih baik ketimbang, ketika sudah sakit baru bergerak atau mengobati. Preventif lebih ampuh daripada kuratif. Sehat itu sederhana dan murah. Giat berolah raga turut menjadi bagian upaya mengikis pandemi ini.

Suka tidak suka, covid-19 telah membawa sebagian warga kita terhanyut dengan informasi, kisah maupun pengetahuan yang salah kaprah bahkan berita-berita yang menayangkan sisi-sisi negatif yang hanya akan menumpulkan imunitas psikologis warga. Menghadapi dan mengatasi pandemi ini kita tak usah khawatir atau takut, tapi sebaiknya tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Tanpa disiplin tersebut, rasanya sulit mengusir pandemi dari negeri ini. Kita harus bersama-sama membuat warga jangan sampai mengalami fobia pandemi. Jangan sampai kita menyepelekan dampak dan bahaya covid-19. Untuk itu, upaya preventif, kuratif dan promotif harus terus kita laksanakan untuk melumpuhkan kekhawatiran, was-was maupun ketakutan yang mendera. Inovasi dan edukasi mesti gelorakan untuk membangkitkan warga terhindar dari pikiran, emosional lain yang mendestruksi jiwa raga kita.

Pengalaman salah satu keluarga kawan, tetangganya setelah di rapid tes dinyatakan reaktif, maka sekeluarganya yang bersangkutan ikut di tes semua dan dikarantina. Namun demikian, petugas kesehatan juga melakukan tracking dari keluarga yang dikarantina tersebut, hingga ditemukan siapa yang sudah kontak dengan warga yang terkena covid di atas. Maka kemudian, keluarga kawan tersebut diminta untuk melakukan rapid tes untuk memastikan reaktif tidaknya masing-masing anggota keluarganya.

Tak Berbayar

Membaca kisah kawan itu, tidak ada masalah, yakni keluarga reaktif pertama tadi di tes semua dan gratis. Yang menjadi masalah ketika, keluarga kawan di atas diharuskan melakukan tes dan membayar sendiri. Menurutnya, tarif atau biaya tesnya cukup lumayan bagi ukuran dia.

Mungkin tak akan menjadi problema, kala keluarga kawan itu punya tabungan, lha kalau sedang tidak memegang dana, akan berbeda kisahnya. Padahal bayangannya juga dapat gratis.

Beberapa klinik dan atau rumah sakit memberlakukan tarif tes cepat ini cukup bervariasi, kisaran Rp300 ribu hingga Rp 600 ribu, sedangkan untuk tes swab mematok angka di atas Rp 1 juta. Masih tingginya tarif tes cepat maupun swab membuat warga enggan dan keberatan, karena biaya tersebut mendingan untuk menambal kebutuhan pokok sehari-hari dulu.

Sinyalemen komersialisasi rapid tes pun diungkap anggota Ombudsman RI, Alvin Lie (Kompas, 7/7/2020) atas aduan warga. Bea rapid tes setiap klinik atau rumah sakit atau laboratorium belum ada kesamaan, sehingga berpotensi ada komersialisasi pada tes menyangkut covid ini. Mungkin saja perbedaan tarif tes di atas karena harga alat tes sendiri beragam.

Dalam situasi sulit ini antara ekonomi dan kesehatan acap berbenturan, padahal tak bisa mengabaikan salah satu darinya. Untuk menekan gejolak warga, pemerintah dalam hal ini Kemenkes perlu menetapkan standar tarif maksimal tes cepat. Sehingga tak ada perang tarif di dalamnya.

Tribunews (8/7/2020) melansir Kemenkes  menetapkan tarif rapid tes, maksimal Rp150 Ribu yang berlaku mulai 6 Juli 2020. Kita apresiasi langkah tersebut, namun penetapan tarif maksimal tersebut perlu disertai sanksi. Anggota Komisi IX (Kesehatan) DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai, ada dua jenis sanksi yang bisa diberikan bagi pelanggar ketentuan tersebut, yakni sanksi administrasi dan denda (Republika, 8/7/2020).

Dalam kepentingan bersama ini, penting bagi warga untuk melakukan pengawasan organik jika ada yang melanggar ketentuan tersebut. Integritas institusi kesehatan baik plat merah maupun partikelir dipertaruhkan dalam pandemi ini. Wajib dihindari bermain api di tengah pandemi, jangan melakukan korupsi, gratifikasi dan pungli, apalagi di darurat pandemi, karena ancaman hukuman mati menanti.

Di luar itu, nampaknya harus tetap menjadi orientasi kita adalah bertarif murah dan tes tersebut cukup eketif, akurat, sehingga memberikan kepuasan dan kelegaan bagi warga. Penting dan mendesak, pemerintah membebaskan warga miskin dari biaya rapid tes. Logikanya, lha mereka saja masih dibantu beroleh bantuan, kok masih disuruh harus membayar tes rapid. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun