Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Me(nye)mbunyikan Korupsi

30 Juni 2020   15:52 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:31 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jaman sekarang rasanya susah mencari urat malu, karena tiap hari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras, bahkan operasi tangkap tangan (OTT), tapi koruptor tetap saja melawannya. Melawan KPK sama halnya melawan rakyat. Itu dia yang membuat saya ngelus dada.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, sepanjang 2019 terbanyak dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN). Secara umum, aktor yang paling banyak melakukan korupsi yakni ASN dan swasta.  (Media Indonesia, 19/2/2020)

Berdasarkan catatan ICW, dari 580 orang tersangka yang ditetapkan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK, 231 orang merupakan ASN. Menyusul aktor dari pihak swasta dengan jumlah 149 orang, Kepala Desa 45 orang, Direktur Umum/Staf BUMN 26 orang, Aparatur desa 19 orang, dan Kepala Sekolah 16 orang.

Pemerintah perlu mempertegas saksi bagi pidana korupsi yang melibatkan ASN karena setiap tahun abdi negara tersebut mendominasi tersangka kasus korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat kode etik ASN dan mempertegas sanksi bagi pidana korupsi yang melibatkan ASN mengingat setiap tahun, jumlah tersangka korupsi terbanyak berasal dari ASN.

Selain itu, perlu memperkuat pengawasan internal di badan-badan permerintah untuk mencegah praktik korupsi. Sementara itu, modus korupsi dengan penyalahgunaan wewenang menempati urutan pertama yang menyebabkan kerugian negara. Dari 30 kasus korupsi dengan modus penyalahgunaan wewenangan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp6,3 triliun.

Rentang tahun 2019, penegak hukum berhasil menindak kasus korupsi sebanyak 271 kasus dengan menetapkan tersangka sebanyak 580 orang. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sebesar Rp8,4 triliun. Suap menjadi modus yang paling dominan dilakukan oleh para tersangka korupsi.

ICW mencatat selama 2019 ada 95 kasus korupsi di lingkungan Pemkab, dengan total kerugian negara sebesar Rp6,1 triliun. Korupsi Pemkab juga melibatkan uang suap dengan jumlah total Rp42,8 miliar, uang pungutan liar Rp2,1 miliar, dan pencucian uang Rp62 miliar (kbr.id, 19/2/2020). Hingga hari ini Kemenpan RB telah memecat 3.240 ASN secara tidak hormat karena terlibat tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara (semarangbisnis, 3/7/2019).

KPK sudah pada track-nya, yakni melakukan upaya pencegahan, seperti melakukan sosialisasi, sekolah KPK, maupun edukasi lain lewat pemutaran film, penerbitan buku, penyertaan LHKPN bagi pejabat, penandatanganan Pakta Integritas bagi pejabat maupun calon legislatif, dll, di samping melakukan tindakan penangkapan, OTT hingga memenjarakan koruptor.

Perilaku koruptor tersebut seolah sudah kehilangan, dihilangkan dan menghilangkan diri atas rasa malu-nya dihadapan keluarga, kerabat, dan di hadapan publik. Kita lihat saja, mereka di televisi mengenakan jaket oranye sempat-sempatnya dan nampak diri yang tak berdosa, melambaikan tangan, cium jauh, bersenyum-senyum.

Tak sedikit pelaku koruptor maupun keluarganya justru berjuang keras menutup-nutupi (hidden) atas tindakan korupsi yang dilakukan anggota keluarganya, entah alasan kekayaannya itu hasil dari bisnis, mendapat warisan maupun tabungan juga hasil jerih payah dari honor-honor lainnya.

Mereka merekayasa membangun argumen yang seakan nampak keluarganya bersih, lewat pengalihan rekening, liburan wisata ke luar negeri, dll, sehingga tak jarang di mata tetangga dan kehidupan sosial lainnya mereka nampak menjadi pilantropis dan atau samaritan yang baik.

Memang, kalau melihat akumulasi angka setiap bulan, bahkan tahun terkait tangkapan KPK bukan patokan semakin berkurangnya secara kuantitas pelaku korupsi. Dengan kata lain, banyaknya tangkapan KPK berarti bertambahlah orang-orang yang sudah tidak punya malu di tengah masyarakat kita yang tersandra kemiskinan. Senses of crisis lenyap begitu saja, padahal negeri ini masih punya hutang mengentaskan rakyat miskin sebanyak 24,79  juta orang (9,22 persen). Tentu, angka pedih itu belum ditambahkan warga yang terdampak covid-19.

Putusnya urat malu koruptor mungkin karena kerasnya keinginan untuk menjadi pusat perhatian publik meskipun dilakukan dengan cara kontra produktif, diluar logika publik, bahkan mereka kadang kebelet (tak mampu menahan) semua hasrat materialistiknya yang sudah tidak beralas kebutuhan, tapi lebih pada keinginan. Ingin status/kelas sosial baru bahkan sensasi baru, sehingga budaya instant meringkusnya.

Terbitmya penandatanganan SKB 3 Menteri (Dalam Negeri, PAN dan RB dan BKN) September 2018, Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018, yang mengatur bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat menjadi bagian memundurkan budaya kleptoktasi di kalangan pejabat negara atau ASN.

Keteladanan
Oleh karena itu, pendidikan karakter, pola asuh dan edukasi di keluarga menjadi amunisi dahsyat menghapus ideologi korupsi dalam kehidupan generasi milenial. Pada tataran kecil, menyontek di sekolah, PNS yang memakai gas melon, warga mampu ber-SKD (surat keterangan domisili) palsu, menyuap Polisi di jalan, mencuri stroom listrik, dll adalah fakta riil bentuk korupsi dan atau gratifikasi yang harus kita kerdilkan.

Model ujian atau tes dengan CAT (Computer Assisted Test), beasiswa anak miskin, bidikmisi, pemberian bonus atlet peraih medali, pembayaran maupun bantuan non tunai, dll  itu semua merupakan edukasi hingga level grassroots untuk memerangi korupsi dalam aspek luas. Selain keteladanan pemimpin dalam penegakan integritas dan layanan bersih, kemudian pengembalian gratifikasi juga bagian ing ngarso sung tulodho untuk membuat koruptor berangsur rikuh-pekewuh dan tobat tidak mempraktikkan korupsi.

Dibukanya kanal-kanal aduan dan kontrol masyarakat untuk turut mengawasai jalannya pembangunan di negeri ini akan mampu mempersempit ruang gerak koruptor. Tantangan penting yang perlu dijawab oleh seluruh pemangku kepentingan, adalah menciptakan aktor-aktif yang tumbuh mengakar secara organik bagi masyarakat sebagai sebuah gerakan melawan korupsi, anti korupsi. Gerakan ini bergerak membangun kesadaran kolektif dan memanfaatkan komunitas media untuk menyuarakan transparansi dan akuntabilitas, kejujuran juga pengorbanan.

Kesadaran personal dan pengawasan masyarakat harusnya bisa menjadi senjata penggugah urat malu para koruptor. Semoga kita tidak menjadi bangsa yang malang. Kolibri pun bisa menjelma menjadi Rajawali. Mari kita menyembunyikan tangan kita untuk tidak korupsi dan kita tabuh genderang (membunyikan) perang melawan korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun