Jalan sunyi barangkali lekat dengan panggung hidup para pendamping desa. Mereka absen bahkan nihil dari ekspose media cetak maupun elektronik di negeri ini. Mereka senyap oleh rerupa kisah sukses pembangunan desa yang lebih didominasi kepala desa, guru, perawat, bidan, dokter, hingga mahasiswa KKN yang sama-sama mengabdikan di pedesaan.
Bahkan para pendamping desa ini tak mampu melampaui populernya UU Desa apalagi dana desa, meskipun setiap hari sebagian besar waktu dan pikirannya mereka curahkan mengurus keduanya.Â
Memang popularitas bukan yang dicari pendamping, tapi mereka lebih mementingkan aksi nyata mencerdaskan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat desa. Pendamping desa juga manusia biasa.Â
Dengan segenap kekurangan dan kelebihannya, sulit bagi penulis untuk tidak bersepakat dengan para pendamping yang jelas-jelas menjadi bagian transformasi dan teladan bagi kaum muda saat ini. Betapa tidak, di tengah lelahnya pergulatan memenangkan dirinya di kompetisi kerja profesional, mereka rela berkeringat berdampingan bersama akar rumput jauh dar gegap kemodernan.
Namun tugas dan fungsi maupun komitmen yang digenggam para pendamping selama ini tidaklah cukup. Pendamping sekurangnya harus punya tujuan jangka pendek, menengah dan panjang untuk membangun desa. Dalam konteks ini, para pendamping mesti punya cara khusus pada peningkatan mutu sumber daya manusia desa untuk membalik kemiskinan dan ketidakberdayaan yang menimpa masyarakat desa.
Saat ini, desa-desa masih menghadapi kebelumpahaman menggunakan dana desa, ketidakmengertian perangkat desa menerjemahkan regulasi berkait tentang desa, kekurangan teknologi di desa, angka  pengangguran tak sedikit, rendahnya pendapatan, pengelolaan sumberdaya desa yang belum optimal, sosio kultur masyarakat desa yang kontraproduktif, belum terintegrasinya bantuan ke desa, belum adanya keberlanjutan program di desa. Selain itu, narkoba, radikalisme, terorisme dan kualitas demokrasi mengintai desa. Apalagi sekarang masih dihantam oleh pandemic covid-19.
Problematik tersebut, sekurangnya berujung pada lemahnya daya saing masyarakat desa. Di depan mata, tak terhindar, tak sedikit masyarakat desa yang memilih turun kelas pada kelas iuran BPJS, ada saja anak-anak desa yang tak kuat membayar iuran/sumbangan pendidikan dan atau pungutan pendidikan sekolah swasta lainnya.Â
Di aras lain, ada juga anak-anak muda yang kesulitan bahkan tak mampu membayar UKT di kampus negeri maupun partikelir, tak mampu membayar PBB. Dan tenaga kerja di pedesaan itu tak pernah disertakan dalam asuransi jiwa atau ketenagakerjaan.
Karena, sementara ini pemerintah masih terbatas mengcover BPJS kesehatan bagi warga miskin. Tantangan stunting desa pun masih menyapa, sarana prasarana pendidikan juga belum selengkap di wilayah perkotaan yang berkonsekuensi atas kualitas pendidikan di desa. Kekurangan dan kekurangserbaadaan tersebut dalam rentang panjang melemahkan desa.
Salah kaparahnya, masih terjadinya orang kaya di desa berebut BPNT, PKH, BLT, Â SKD Palsu, dan itu mungkin sebagai kebanggaan, tapi buat warga miskin jelas menerbitkan penderitaan, karena kue mereka dirampok dan menjadi bancaan kolegial ketika berdalih alasan pemerataan.
Selama ini pula nampaknya tak ada tanggungjawab moral kampus-kampus yang punya fakultas ekonomi dan pertanian di negeri ini yang diberikan tanggungjawab atas pertumbuhan usaha dan pendapatan bagi UMKM dan petani di pedesaan. Model desa dampingan 1 kampus 1 desa dampingan seperti yang dicontohkan OPD Provinsi Jawa Tengah layak diadopsi perguruan tinggi di tengah tekad pemerintah menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran.