Suka tak suka, noktah hitam korupsi elit dan kader parpol jelas-jelas akan meruntuhkan kepercayaan publik atas proses dan praktik demokrasi, menguatnya sistem politik yang dikuasai pemilik modal dan hancurnnya kedaulatan rakyat.
Namun, kita acung jempol ke parpol yang terus mengedukasi elit dan kadernya dalam mencegah praktik korupsi, seperti LHKPN, Pakta Integritas, sekolah ke KPK maupun workshop integritas, pendidikan karakter anti korupsi, festival anggaran, gerakan nasional revolusi mental, dll.
Founding Fathers
Nah, sekarang pendulum itu berayun. Parpol yang dihuni aktor-aktor korup cepat atau lambat pasti bakal ditinggalkan pendukungnya, karena orang-orang korup yang bernaung di parpol sudah menciderai harapan rakyat. When clean is clean. Mari kita keroyokan, guyub mewujudkan parpol yang zero korupsi, gratifikasi dan pungli.
Sekurangnya, elit dan kader parpol atau siapapun bisa belajar dari contoh riil gerakan antikorupsi yang telah dilakukan oleh founding fathers kita: Soekarno-Hatta. Kita tahu, dua tokoh hebat yang kemasyhurannya diakui dunia ini memiliki kekuasaan yang luar biasa, karena memegang mandat rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.Â
Namun, sepanjang hidupnya, mereka ternyata justru memilih laku marhaen. Meski berkuasa, Soekano-Hatta tetap tidak banyak harta. Bahkan menjelang akhir hayatnya, dwitunggal itu menyisakan kisah yang membuat kita mbrebes mili.
Suatu ketika, tatkala Bung Karno masih di Istana Merdeka, terpaksa harus mengurungkan keinginannya untuk sekadar makan pisang goreng dan nasi kecap  karena sama sekali tidak punya uang. Bahkan, beberapa kali bapak proklamator itu harus pinjam uang kepada ajudannya untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saking prihatinnya, di akhir tahun 1969, dia harus muter-muter mencari pinjaman untuk menikahkan putrinya.
Tidak jauh beda, Bung Hatta sampai akhir hayatnya masih saja menyimpan brosur sepatu merek Bally. Ya, hanya bisa menyimpan brosurnya, karena sepanjang hidup Bung Hatta tidak bisa mewujudkan mimpinya untuk membeli sepatu itu. Bahkan karena kehati-hatiannya terhadap uang negara, Bung Hatta tidak mau menggunakan secarik kertas dari kantor untuk keperluan pribadinya.
Dari kisah di atas bisa kita bayangkan betapa sejatinya laku tidak koruptif sudah dijalankan oleh founding fathers kita. Betapa Dwitunggal itu memegang teguh ajaran leluhur  "sepi ing pamrih rame ing gawe" dan "memayu hayuning bawono". Kita diwanti-wanti untuk bekerja keras, tapi jangan tamak, jangan mengharap imbalan lebih. Untuk apa? Untuk menjaga hayuning bawono, menjaga keseimbangan kehidupan.Â
Mereka sadar, korupsi itu salah satu bentuk kejahatan destruktif yang tidak hanya akan menghancurkan pribadi atau keluarga, tapi juga akan merusak tatanan masyarakat dan negara.
Â