Hal ini sebagian tugas bersama dan khususnya pendamping desa agar menjangkau pada kemampuan warga dalam merumuskan atau mengidentifikasi kebutuhannya, setidaknya membedakan keinginan dan kebutuhan agar tidak patah di kedua sayapnya.
Keterbatasan desa dalam menyusun RPJMDes, RKPDes dan APBDes juga membuat poin nilainya turun, termasuk soal kurangnya tenaga paralegal dengan bantuan hukum kepada warga/perangkat dalam menghadapi masalah hukum. Hal lain yang masih mengernyitkan dahi adalah siapa berbuat apa atas kawasan pedesaan, sedikitnya antar satu atau beberapa desa.
Sederhananya, keadaan jalan rusak, berlubang-lubang, berlumpur yang menghubungkan dua desa menjadi tanggungjawab siapa.
Pada umumnya, desa-desa di lokasi berusaha saling mengindar dan lepas tangan. Mungkin tak sesemangat kala mereka melepas janji pada kekasih. Di sinilah pentingnya kerjasama antar desa, agar BKAD tidak sekadar sub-ordinasi perencanaan tata ruang derajat paling bawah.
Kemudian, pada ranah lain menyangkut kelembagaan beserta aparatur di dalamnya, rata-rata personal yang duduk dalam organisasi kemasyarakatan dan kelembagaan desa mereka yang memiliki kedekatan dengan elit desa. Seolah siapa yang duduk di sana merepresentasi kekuasaan Kepala Desa maupun elit lainnya, sudah begitu warga miskin selalu menjadi korbannya.
Lihat saja tidak sedikit arus bantuan dari supra desa memiliki nasib baik hanya dalam lingkaran kelompoknya, lain tidak. Kasus BLT di beberapa desa ada saja yang belum sepenuhnya tepat sasaran. Ada saja yang merebut kue itu.
Asmaradhahana desa seakan melambung tak hingga dikala desa hanya mengejar konteks ketimbang konten. Artinya desa lebih berkonsentrasi atau fokus pada agenda pembangunan yang monumental secara fisik tetapi belum mampu menaikkan daya imajinasi, ekspresi dan pergulatan intelektual dalam bungkus kearifan lokal.
Mentalitas Murahan
Jalan, jembatan, talud dan bangunan yang berdiri megah masih menjadi pilihan utama dibandingkan penganggaran pelatihan kelompok tani, pelatihan UMKM dan pelatihan teknologi tepat guna maupun pelatihan industri kreatif lainnya atau sekadar merencanakan pengiriman peserta pelatihan ke institusi pemerintah maupun swasta.
Dan, kegiata-kegiatan yang lebih berbentuk peningkatan kapasitas SDM itu mungkin belum atau tepatnya tidak menarik dituangkan dalam usulan Musrenbangdes, baik dalam long list dan short list.
Desa juga akan berasa sayang disaat pelaksanaan program kegiatan tertentu hanya berorientasi pada target dan laporan pertanggungjawaban belaka, tanpa dibarengi upaya proses yang matang dan normatif. Apa yang akan dilihat jika kita hanya bertolak dari indikator out put dan tidak pernah memperhitungkan proses. Kecenderungan kinerja sebuah program pembangunan seharusnya menjangkau sampai pada impact yang menyangkut pola pikir dan sosial budaya masyarakat desa.