Desa sekarang adalah desa yang bergairah, mengapa?
Desa kini bukan yang mencari perhatian, tetapi desa justru mampu mencuri perhatian banyak pihak untuk jatuh cinta padanya.
Riset perguruan tinggi berobyek desa, tidak sedikit film berkisah desa dipublis, seminar tentang desa berseliweran, investasi ke desa bermunculan bahkan desa mampu menjadi rujukan model pemilihan langsung paling demokratis.
Bantuan hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan dan alokasi dana desa serta dana desa maupun bantuan langsung tunai (BLT) covid-19 terus mengalir ke desa. Itu pertanda kalau desa masih menjadi favorit lokasi atas beragam program dan kegiatan dengan balutan bantuan stimulannya. Dengan bahasa lain, desa masih kuat memposisikan dirinya sebagai magnet program dan sangat memungkinkan menjadi magnet uang.
Magnet uang baru sebatas berkemampuan menarik donasi supra desa dan pihak lain ke desa, tetapi secara empirik desa belum dapat menghasilkan pendapatan yang setara atau melampaui sumberdaya desa.
Beberapa desa bahkan masih memberlakukan upaya peraihan pendapatan desa melalui cara merogoh kocek warganya dalam berbagai pungutan, misalnya masih adanya kotak sukarela di Balai desa oleh warga yang sedang mengurus KTP, surat mutasi, surat nikah, melamar kerja dan sebagainya.
Di desa lain, Ia mampu menghasilkan income yang melampai anggaran desanya. Tak sedikit desa wisata maupun yang punya BUMDes maju, seperti Ponggok Klaten memberi lesson learn tersebut.
Menariknya, Kepala Desa getol memperjuangkan hak-hak dia dan perangkatnya, seperti di hampir setiap diskusi maupun sosialisasi UU 6/2014 tentang Desa, para Kades tidak pernah melupakan soal tanah bengkok dan gaji mereka sebagai penghasilan tetap yang menurut kacamata mereka seharusnya memperoleh keduanya.
Inkonsisten muncul, dahulu para Kades dan perangkatnya berteriak minta digaji, sudah dipenuhi mereka semakin ndodro.
Beberapa waktu silam kepala desa tidak lebih sekadar paraf dan mengetahui saja jika di wilayahnya terdapat kelompok masyarakat (Pokmas) yang berbadan hukum yang mendapatkan suntikan bantuan dari hampir seluruh penjuru mata angin, namun lagi-lagi budaya pokmas juga kadang kontra produktif, mereka bergiat berkelompok saat dana bantuan turun ke tangan mereka, tetapi waktu anggaran habis mereka pun dengan sigapnya meninggalkan seluruh tanggungjawab pokmasnya.
Inilah bantuan yang sifatnya inkremental bukan transformasional. Ketika berperkara hukum, kades ini acap disebut-sebut dan "digigit."