Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Wedhatama dan "Balon" Kita

17 Juni 2020   12:26 Diperbarui: 18 Juni 2020   15:58 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak kurang 270 daerah bakal menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 atau 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota. 

Para bakal calon (balon) petarung pilkada tentu berlatar sosok-sosok hebat. Mereka kita pastikan tak segan-segan menjual kehebatan masing-masing. Selagi ada yang dijual tentu akan habis-habisan memperjuangkannya.

Siapa yang tak mengenal kehebatan bangsa Mongol? Pasca keberhasilan invasi di seluruh daratan Cina, berlanjut menguasai wilayah Arab. Di bawah komando Timur Lenk, kota Baghdad dibakar, gedung pasar dan perpustakaan musnah rata tanah. Lebih sistemik lagi penyerbuan yang dilakukan Iskandar Dzulkarnain (The Great Alexandre).

Pada umur masih belia ia ditahbiskan sebagai raja Macedonia di semenanjung Balkan. Langkah awal yang dilakukan sebagai raja adalah memantapkan kekuasaan dan menggalang kekuatan di kerajaan Macedonia sendiri. Setelah itu Iskandar Dzulkarnain mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan terdekat kemudian ke Mesir serta sampai India. 

Dan akhirnya hampir seluruh bangsa di muka bumi tunduk di bawah tampuk kekuasaan sang raja tersebut. Iskandar Dzulkarnain selalu tinggal sesaat di wilayah yang baru ditaklukkan untuk konsolidasi kekuatan dan merekrut tentara baru dari wilayah lokal setempat. 

Dalam proses itu terjadi perkawinan kebudayaan antara barat dan timur (hellenisme) yang menjadi pangkal tolak peradaban dunia sekarang ini.

Memang, kemapanan yang sudah dipupuk sangat membahayakan. Bila berhenti dengan apa yang sudah dicapai maka tidak bisa berkembang lagi dan pasti akan menggali liang kuburnya sendiri. 

Berbeda dengan mereka yang secara terus menerus menghadapi kesulitan maka dengan sendirinya akan tertempa. Pada bangsa Mongol tersebut, mereka terbiasa menghadapi kejamnya gurun Gobi, kehidupan liar di padang rumput serta selalu harus berpindah. 

Maka jadilah mereka orang-orang yang tangguh hingga dengan suatu serangan kilat pasukan berkuda prajurit Mongol mampu menjarah pusat kebudayaan Islam.

Kemenangan tidak menjadi penting lagi. Pertanyannya adalah bagaimana bereksistensi, bagaimana menghadapi kehidupan dan dunia. Ada yang menyebut easy going, ringan tangan dalam beraktifitas namun tetap berani mengadapi tiap resiko yang diakibatkan. 

Dan sudah barang tentu tetap waspada dengan resiko yang mengenakkan. Godaan untuk secepatnya memperoleh "suara terbanyak" bisa menjebak. Demi keberhasilan kadang jadi gelap mata hingga nilai-nilai yang ada dilabrak. Lebih parah lagi bila do less talk more.

Menelisik sejarah kerajaan bangsa-bangsa di muka bumi adalah belajar bagaimana terus menerus berkonfrontasi. Jika bereroleh kemenangan maka merupakan modal untuk bertarung lagi.

Pada ranah personal adalah bagaimana berlelah-lelah dalam berkarya, berhasil atau gagal itu soal nanti (Tuhan). Adalah Sigmund Freud, perumus psikoanalisa yang sangat menonjolkan nafsu liar manusia itu pada akhir hayatnya ketika ditanya sari-sari pemikirannya, ia menjawab dengan singkat : mencintai dan bekerja, zeit und arbeit.

Pesan mendalam secara eksplisit dan implisit dari Wedhatama karya besar KGPAA Mangkunegara IV masih relevan di kekinian dan era kesejagatan dalam konteks Pilkada. Dalam serat ini diajarkan kepada siapapun (birokrat, politisi, pejabat bahkan rakyat). 

Dalam konstelasi ini, bagaimana para balon kepala daerah bersikap yang tepat dalam mengarungi perubahan zaman, di mana kita diharapkan untuk selalu waspadeng semu (mampu menangkap gelagat), sesadon ingadu manis (menanggapi segalanya dengan manis).

Wedhatama memberi banyak pelajaran para balon pada sikap tidak sombong, merasa menjerumuskan. 

Bahkan apabila orang telah mengetahui ilmu sejati akan bunga ingaran cubluk, sukeng tyas yen denina (suka dianggap bodoh, gembira jika dihina) namun sinambi ing saben mangsa, lelana teka-teki (setiap ada kesempatan mengembara bertapa atau belajar dengan giat).

Otokritik

Mengahadapi setiap tantangan para balon, diajak untuk selalu sumanggem anyanggemi, nora ketang teken janggut suku jaja (selalu siap sedia, bergeming meski dengan susah payah). Wedhatama menekankan tiga hal dalam kehidupan, yakni wirya arta tri winasis (keluhuran, materi dan kepandaian).

Dalam konteks mengawal visi misi para balon untuk menyejahterakan rakyat, sudah waktunya mereka berikhtiar memberdayakan masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat martabat, nguwongake rakyat dan tak tertinggal terhadap kemajuan iptek dunia.

Serat ini lagi-lagi mengajarkan kepada balon yang bakal duduk di Pucuk Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk bersikap inklusif, artinya mau menerima setiap ajaran kebaikan, tidak bersikap yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni (jika mendapat petunjuk ilmu yang nyata tidak pernah dijalankan). Para balon kepala daerah jangan hanya mengandalkan japa mantra, tapi harus dilakukan dengan aksi nyata.

Sikap reaktif, emosional dan mencaci zaman dan keadaan, seperti Don Kisot yang menyerang kincir angin yang dikira raksasa juga harus dihindari. 

Wedhatama telah membentangkan perspektif yang harus dimaknai sebagai upaya simbol spirit explory, dreams dan discovery. Di aras lain juga menjadi simbol keberanian setiap balon kepala daerah untuk melihat diri (otokritik) atas kekurangan dirinya.

Spanduk doa Douglas McArthur, di tengah perang pasifik pun terekam kuat di sini, sekarang ini ..."Tuhanku, jadikanlah anakku seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya. Berani menghadapi kala ia takut. Yang bangga dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus. Serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan..." Inilah kontemplasi kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun