Rahim kita adalah desa. Tidak sedikit pejabat negara hingga petinggi daerah pun bermula dari sana. Banyak pula keputusan-keputusan penting negeri ini lahir dari desa. Desa telah memberi sejumlah harapan dan mimpi bagi kesejahteraan masyarakat.
Fenomena desa masih dianggap miskin dari masa ke masa, bahkan ketika pandemi covid-19 sampai pembahasan rencana jangka menengah pembangunan daerah, nyaris semua bentuk hambatan dan atau kendala pembangunan tertuju kepada desa.
Tudingan, seperti pemudik liar (ngeyel) dominasi dari pedesaan, masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia desa, kurangnya teknologi desa dan masih banyak hal lainnya mengapriori desa. Penduduk miskin kita per September 2019 sebesar 9,22 % (24,79 juta jiwa) dan kantong terbesar kemiskinan ada di desa, yakni turun dari posisi 12,85% (maret 2019) menjadi 12,60% (September 2019).
Broker Proposal
Melihat keterpinggiran, ketidakberdayaan dan membaca kemiskinan desa lantas banyak pihak tergerak dan terdorong untuk melunasi hutang mereka kepada ibu kandungnya (desa), Sebut saja, dahulu ada Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdutaskin), lantas muncul Inpres Desa Tertinggal (IDT), hingga dana desa bahkan varian program atau gerakan yang berorientasi pada mengangkat harkat martabat masyarakat desa dalam aspek luas bertebaran.
Kita mungkin masih ingat ada pula Gerakan Kembali ke Desa, Rintisan Desa Berdikari, 1 OPD 1 Desa Miskin, dll. Di tataran Kab/Kota tidak ketinggalan ada juga Mbangun Deso Noto Kutho, Bangga Suka Desa dan gerakan serupa lainnya.
Desa diasumsikan sebagai wilayah yang potensial dengan sumberdaya alam dan manusianya, cuma mereka belum ada prakarsa untuk menentukan tindakannya, oleh karenanya tidak salah jika ada intervensi dari pihak luar.
Pihak luar yang belakangan banyak berkontribusi atas kemajuan desa, di samping pembinaan dari instansi pemerintah, juga ada LSM/NGO, fasilitator maupun pendamping desa, dan pihak-pihak yang peduli kepada nasib desa di masa mendatang.
Sudah saatnya kita mengundang para sarjana masuk desa. Hal ini layak didorong positif, karena sebagian besar para lulusan perguruan tinggi berburu pada ranah pegawai negeri, ambtenar atau sosok bos pengusaha, bekerja di lembaga perbankan.
Salah satu indikasi yang mencuat adalah tidak sedikit perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memiliki fakultas pertanian, namun demikian para sarjana lulusan tersebut barangkali manakala disodori kuesioner peminatan pekerjaan pasca diwisuda, mereka jarang atau hanya sedikit prosentasenya yang memilih menjadi seorang petani. Kebanyakan kita masih bermental buruh.
Tak bisa dipungkiri, kesejahteraan petani sering dipermainkan oleh para tengkulak atau kapitalis. Pada umunya petani kita masih sebatas peasant belum farmer. Mungkin ini hanya sebentuk pengingkaran atas nasib masyarakat desa yang tak berdaya.