Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguatkan Spiral Kebangsaan

9 Juni 2020   13:47 Diperbarui: 9 Juni 2020   13:46 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Spirit dan nilai kebangsaan kita harus selalu di-recharge agar kadar keindonesiaan semakin menggumpal dan menguat di tengah ujian pandemi covid-19 hari ini. Nyaris setiap hari kita dapati pemberitaan media yang menyorongkan aksi kekerasan dalam beragam bentuknya. Mencaci maki petugas covid-19, menghujat polisi, memprotes distributor bantuan corona, melempar hoaks soal pandemic, adumulut satpol dan pedagang kaki lima, dll.

Bahkan provokasi seolah menjadi perilaku harian. Kita ngelus dada dengan kasus pengusiran tenaga medis dari indekosnya, penolakan jenazah covid-19 dan terakhir bejubelnya orang kaya yang berebut bansos dan BLT warga terdampak covid-19.

Spiral kebangsaan kita nampaknya terus diuji dengan berbagai bencana yang mendera, belum juga tuntas menyelesaikan bencana satu, kini ditimpuk pandemi covid-19 ini.Elan kebangsaan kita serasa terus dibarukan dengan kemunculan bencana demi bencana.

Negeri ini seperti supermarket bencana atau malah sebagai laboratorium bencana. Dampak setiap bencana tersebut selalu memanggil dan mengundang kita untuk terlibat menjadi pilantropis dan samaritan yang baik meringankan beban duka lara dan penderitaan warga yang teragresi corona.

Di pusaran politik, antara eksekutif dan legislatif mesti bergandengtangan. Bukan sebaliknya, merendahkan, menistakan, membuli dan menggoreng isu-isu yang tidak penting bagi masa depan pembebasan rakyat dari cengkeraman wabah corona.

Masing-masing pihak jika tidak mengendalikan diri dan kelompoknya hanya akan membawa bangsa ini pada spiral kekerasan.  Kita harus kembali pada praktik nilai-nilai ideologi bangsa yang bernama Pancasila.

Kita punya pengalaman kelam atas kekerasan 1965 yang sangat melukai rakyat. Apapun paham-paham yang ingin mengganti Pancasila, anti NKRI harus kita tolak dan lawan. Ini yang harus kita tanamkan pada generasi milenial, sehingga mereka tidak kekurangan bahkan kekeringan nilai kebangsaan di tengah turbulensi pandemi.

Tidak boleh, persaudaraan dalam kebhinekaan kita tergerus, terdegradasi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Karena, apapun perbedaan dan warna kita adalah warisan berharga yang kita punya. Tidak boleh aset sosial ini bergeser bahkan ditukar hanya demi kepentingan pragmatis dan instan. Durhaka dan kuwalat rasanya terhadap para founding father yang telah berjuang habis-habisan mengusir kolonial dan menegakkan republik ini.

Kekerasan tak bisa dihapus tanpa kesadaran kolektif oleh seluruh pemangku kepentingan. Mulai hari ini hanya ada satu kata : damai, rukun dan gotong royong-menyelesaikan PR bangsa. Kemiskinan, pengangguran, pendidikan, pangan yang semua itu berelasi linear dengan pandemi covid-19, dll. Kita harus menjadi bagian solusi bukan bagian masalah bangsa. Itu cara kita merawat Indonesia tanpa kekerasan.

Sudah waktunya kita bersama-sama menghidupi Pancasila. Namun, yang lebih penting dari itu semua bukanlah soal upacara hari lahir Pancasila maupun hari Kesaktian Pancasila, melainkan bagaimana menjaga dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam kelima sila Pancasila segera diwujudkan di bumi Pancasila, apalagi di pusaran corona kini.

Untuk itu, rakyat pun juga harus berperan aktif hadir di lingkungannya menjadi wakil negara sebagai deteksi dini jika ada hal-hal yang bertentangan apalagi berupaya kontraproduktif dalam mengusir corona. Rakyat harus menjadi matanya negara, telinganya negara, ototnya negara untuk selalu mengawasi praktik ber-Pancasila di atas bencana corona.

Sehingga kalau ada ketidakberesan berada di garis depan untuk mengamankannya. Ia juga mengajak masyarakat untuk berpandangan secara moderat dengan tidak berposisi di ekstrem kanan maupun sebaliknya di ekstrem kiri. 

Kiri pol kanan pol (terlalu kiri terlalu kanan) tidak boleh. Semua harus masuk dalam frame Pancasila. Jangan sampai kita menjadi penghambat pembebasan corona menuju new normal.

Menu Bergizi

Tumbuhnya gerakan dan aksi mencintai dan menghidupkan Pancasila berasa menyegarkan dan menyorongkan optimisme kita di tengah wabah covid-19. 

Munculnya buku, film, aksi teater, panggung konser amal, musik kebangsaan, diskusi melawan radikalisme, terorisme  dan intoleransi penanganan corona maupun narkoba juga anti korupsi yang digelar secara virtual menjadi menu bergizi mencegah stunting kebangsaan kita dalam menangani pandemi. Bukan saatnya politik itu pencerengan, mesti harus yang asik-asik dan menenangkan hati warga.

Kita tak boleh sekalipun mengklaim sebagai generasi paling benar, paling suci, Paling Pancasilis apalagi paling berjasa atas pandemi ini. Biarkan rakyat menilai. 

Semua punya peran di bidang masing-masing atas lahir dan tugas utama membesarkan jiwa negeri ini. Petani, nelayan, buruh, politisi, TNI, Polri, Alim Ulama, tokoh masyarakat, guru, bahkan buruh pun berkontribusi untuk selalu menjaga bangsa ini bukan sebagai bangsa yang malang, apalagi bangsa amnesia dalam menghadapi dan mengatasi pandemi.

Kita harus menjadi garda depan menjaga kedaulatan bangsa di atas segalanya. Ingat Bung Karno pernah menyampaikan Indonesia bakal besar atas 3 (tiga) hal besar, yakni berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkribadian dalam kebudayaan. Untuk memangul Indonesia dengan kekuatan di atas, maka pintu masuk untuk menguatkan kembali nilai dan ruh kebangsaan kita apalagi di tengah kemurungan pandemic ini, salah satunya adalah lewat pendidikan atau edukasi atas protokol kesehatan melumpuhkan corona maupun berdamai dengan covid-19.

Untuk itu, pendidikan jangan sampai hanya mencetak manusia cerdas dan pintar saja, melainkan juga manusia yang siap membangun kerjasama dan gotong royong. Misalnya memberi atau mengirim makanan ke tetangga/warga terdampak corona. Pager mangkok jauh lebih bernyawa ketimbang pager tembok maupun pagar besi. Ruh warna-warni menjelma kuat dalam keguyuban mengatasi pandemi.

Pendidikan yang meringkus gotong royong, pasti akan lembek dalam mengembangkan etos perbedaan. Inilah yang harus digelorakan terus dalam setiap dada kamu muda kita. Menghadirkan Pancasila di keluarga, sekolah, kampus, tempat ibadah dan kegiatan publik lainnya dan atau di musim pandemi ini akan menebalkan 100% toleransi, 100% NKRI, dan 100% Pancasila. Bersemi di tengah pandemi, berseri menghalau pandemi. Welcome to new normal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun