Blue Serengeti adalah sebuah hotspot tepat di lepas pantai California Utara di mana predator-predator laut bermigrasi seperti yang terjadi di Afrika. Seperti rumput segar di kawasan Afrika, kawasan Samudera Pasifik ini menawarkan sumber makanan musiman saat angina musim semi menciptakan hulu perairan yang lebih dalam dan kaya akan nutrisi laut.
Pada musim panas, penyu belimbing tiba dari Indonesia, burung shearwater dari Selandia Baru, tuna sirip biru dari Jepang, dan hiu dari spiral subtropics -- untuk mencari makan. Menurut Barbara Block, ahli biologi kelautan dari Universitas Stanford, tempat ini menjadi tempat makan terpanas di Kawasan Pasifik Utara.
Para ilmuwan berhutang penemuan Blue Serengeti ini kepada data-data yang dikumpulkan dari proyek Tagging of Pacific Predators (TOPP),sebagai bagian dari Sensus Kehidupan Laut 10 tahunan.
Proyek tersebut menandai lebih dari 5,000 hewan laut pada 23 spesies, dengan bantuan lebih dari 80 ilmuwan di lima negara. Dengan menandai segalanya secara bersamaan, para ilmuwan dapat mengungkapkan kegiatan musiman yang dilakukan para hewan.
Kemampuan untuk melakukan sensus dan melacak kehidupan di laut sangat penting untuk menjawab beberapa pertanyaan dasar tentang kehidupan bawah laut, seperti, berapa banyak hewan laut di bawah sana? Di mana mereka tinggal? Dan apa yang terjadi pada ekosistem laut saat predator besar seperti tuna sirip biru dan hiu ditangkap secara berlebihan?
Ilmuwan kelautan mungkin 30 sampai 50 tahun tertinggal dibanding rekan sejawat mereka di darat. Â Dan karena kreasi chip mobile dalam 20 tahun terakhir mereka dapat menyusu. Teknologi yang sama yang ada di lebih dari satu miliar ponsel pintar di darat kini digunakan sebagai tanda pada hewan laut untuk mengumpulkan data lautan seperti kedalaman, suhu, dan cahaya.
Mengumpulkan dan mengelola data bukanlah tugas yang mudah. Sementara tag pada sirip di punggung hiu dapat mengirimkan sinyal radio ke satelit yang mengorbit bumi, hal yang berbeda terjadi pada hewan yang bernafas melalui insang di laut dalam seperti tuna sirip biru. Gelombang radio tidak berjalan dengan baik melalui air, jadi para ilmuwan mengembangkan sebuah tag yang mengukur cahaya, dan menggukanan matahari terbit dan tenggelam untuk menghitung jarak dari Greenwich Meridian.
Para peneliti harus mengintegrasikan data dari 7 tipe tag yang berbeda, masing-masing dengan data stream yang unik dalam bahasa yang sedikit berbeda. Mereka juga mengkombinasikan data dari tag satelit dengan data akustik yang dikumpulkan dari pelampung pintar dan gelombang robotic glider yang 'mendengarkan' hewan yang telah ditandai yang berenang di dekatnya.
Para ilmuwan juga harus menemukan cara untuk menyajikan data dalam tampilan visual yang menarik, seperti peta yang menunjukkan rute migrasi dan titik-titik panas di mana hewan berkumpul. Pengeluaran untuk teknologi dan layanan big data untuk memenuhi kebutuhan serupa mencapai hampir 20 miliar dollar pada 2016, menurut International Data Corp (IDC).
Masalah bisnis umum lainnya yang dihadapi para ilmuwan adalah bagaimana membuat data mereka dapat diakses pada perangkat mobile untuk meningkatkan kesadaran public atas temuan mereka. Sebagai permulaan, para ilmuwan menciptakan aplikasi Shark Net gratis yang dapat melacak aktivitas dari 25 Hiu Putih berbeda.
Proyek Barbara Block dan para ilmuwan selanjutnya adalah dengan menggunakan big data untuk menciptakan "sambungan laut" yang memungkinkan perlindungan hiu, tuna, dan hewan laut lainnya secara real-time. Proyek ini diharapkan dapat mengkombinasikan data live streaming dari satelit dan tag akustik untuk menciptakan jaringan yang menyediakan data instan dari lokasi hewan-hewan tersebut.
Langkah pertama: meluncurkan lima pelampung di sekitar Blue Serengeti pada musim gugur yang akan memonitor kehadiran hiu. Kelak, data-data ini akan digunakan untuk usaha mengubah area tersebut menjadi situs Warisan Lautan Dunia yang dilindungi, seperti Great Barrier Reef di Australia.
Kebutuhan untuk pengawasan jangka panjan di lautan sangat mendesak, tidak hanya untuk menyelamatkan Blue Serengeti, namun juga untuk pengelolaan perikanan jangka panjang. Sebagai contoh kasus, ilmuwan kelautan perlu melihat apa yang terjadi pada Gulf of Maine di Amerika Utara, di mana persediaan ikan di sana begitu habis sehingga dewan penasehat membatasi penangkapan ikan cod hingga 77 persen.
Secara historis, jumlah ikan berasal dari catatan tangkapan manusia. Tujuan di masa depan adalah menggunakan teknologi data prediktif untuk memperkirakan di mana sebenarnya ikan berkumpul untuk menciptakan pengelolaan perikanan yang lebih dinamis.
Pemantauan perubahan ekosistem laut juga dapat membantu mengelola perubahan iklim. Kemampuan manusia untuk menghirup oksigen datang dari lautan, yang menyangga CO2 dari atmosfir. Namun peningkatan emisi karbon membuat keasaman laut melonjak. Beberapa sensor yang sama digunakan untuk melacak hewan-hewan laut dapat juga digunakan untuk mengumpulkan data untuk model pemanasan lautan, seperti suhu laut, kadar garam, dan tingkat oksigen.
Cara-cara yang dilakukan para ilmuwan di Amerika di atas juga sudah sepatutnya mulai diterapkan di Indonesia. Dengan lebih dari 17 ribu pulau dan 96 ribu km persegi wilayah laut, ada banyak potensi yang dapat dimanfaatkan dan diteliti di Indonesia. Mulai dari keanekaragaman hayatinya, ekosistem laut, kadar garam, hingga meneliti jumlah biota bawah laut yang terancam atau memiliki potensi meningkatkan ekonomi Indonesia.
Masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana menemukan big data analitik yang memudahkan lembaga penelitian di Indonesia untuk mengolah data tentang lautnya. Namun sekarang, masalah tersebut dapat dipecahkan dengan Paques, big data analitik hasil kreasi Indonesia.
Sebagai salah satu pelopor produk big data analitik di Indonesia yang komplit, Paques dapat digunakan tanpa produk-produk lain serta pemrograman dan instalasi yang rumit. Dan dengan adanya fitur self-service, Â para peneliti laut di Indonesia akan mampu mengoperasikannya secara mudah.
Laut, terutama di Indonesia memiliki prospek yang luar biasa cerah jika dikelola dengan baik, dan big data bisa membantu para ilmuwan untuk memunculkan insight-insight yang selama ini tertutup sehingga dapat menyediakan solusi-solusi dari berbagai masalah yang selama ini berasal dari laut, mulai dari konservasi hingga perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H