Belakangan ini masyarakat diramaikan dengan keputusan Presiden Jokowi untuk merelokasi Ibu Kota Negara ke luar pulau jawa. Salah satu kandidat Ibu Kota baru adalah Kalimantan Timur. Dianggap layak karena merupakan daerah yang strategis karena berada posisi tengah dan bukan wilayah ring of fire dan diyakini memiliki potensi bencana yang kecil.
Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto menjadi opsi yang diberikan oleh Pemprov Kaltim apabila jadi untuk merelokasi Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Untuk membangun ibu kota berdasarkan hasil kajian dari Bappenas memerlukan 3.000-4.000 hektare. Relokasi ibu kota menggunakan Tahura Bukit Soeharto bukanlah opsi yang tepat.
Tahura Bukit Soeharto sendiri sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 seluas 61.850 hektare. Â Tujuannya untuk menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan dan berfungsi sebagai wilayah untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dapat dipergunakan untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Deforestasi
Deforestasi atau kerusakan hutan adalah kegiatn konversi lahan hutan alam untuk penggunaan sektor lainnya. Tentu saja ketika keputusan final relokasi ibu kota dilaksanakan di kaltim akan menyebabkan penurunan kualitas hutan dengan ditandai dengan hilangnya beraneka ragam spesies dan berkurangnya biomas. Nantinya bukan hanya gedung-gedung pemerintahan serta perumahan pegawai yang terbangun disana, hal ini akan memancing para pelaku ekonomi untuk mengambil peluang di ibu kota. Dapakanya adalah kerusakan hutan akan terus-menerus berlangsung.Â
Deforestasi sebenarnya sudah lama dialami oleh hutan-hutan di Kalimantan Timur yang disebabkan oleh aktifitas-aktifitas perindustrian seperti alih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, pertamabangan dan sebagainya. Selain itu kebijakan  perekonomian era orde baru yang menganggap hutan sebagai energi terbarukan menyebabkan eksploitasi besar-besaran sebagai sumber devisa pembangunan negara yang di akhir era orde lama mengalami inflasi 650 persen.
Namun kini hal tersebut akan terulang kembali dengan sekenario baru. Alasan bahwa yang akan dibangun hanyalah pusat pemerintahan dan pusat bisnis akan tetap berada di Jakarta merupakan argumentasi untuk merelokasi ibu kota ke Tahura Bukit Soeharto. Argumentasi tersebut belum dapat menjamin keberlangsungan kelestarian Tahura Bukit Soeharto.
Artinya bahwa pengusulan Tahura Bukit Soeharto sebagai opsi Ibu Kota bukan merupakan usulan yang tepat. Kebijakan yang dikeluarkan sangat jauh dari semangat green development yang selama ini menjadi sebuah filosofis yang sering di usung. Seharunya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memperhatikan dampak negatif yang akan muncul nantinya dengan merekolasi Ibu Kota di wilayah Tahura Bukit Soeharto.
Paru-Paru Dunia
Dalan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Kaliamantan telah jelas menyatakan bahwasanya pulau Kalimantan dipersiapkan sebesar 45 persen hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Selain itu fungsi lain ditujukan sebagai sarana memelihara keanekaragaman hayati dan tumbuhan serta satwa endemik.
Dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Timur tahun 2016 dari jumlah keseluruhan hutan di Kalimantan Timur yang mencapai 12.638.936 hektare hanya sebesar 1.844.969 hektare saja yang berstatus hutan lindung. Dengan demikian hayan sekitar 14,5 % hutan di Kalimantan Timur yang dapat difungsikan sebagai penopang paru-paru dunia. Jumlah itu tentunya belum terhitung dengan luas hutan lindung yang digunakan untuk aktifitas pembangunan infrastruktur dan yang rusak akibat aktivitas illegal lainnya.