Mohon tunggu...
Tengku Raihan
Tengku Raihan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2023

Seorang yang masih muda dan masih banyak belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ada Apa di Balik Kampanye Digital Pilkada 2024? Bongkar Taktik Tersembunyinya!

12 Oktober 2024   11:57 Diperbarui: 12 Oktober 2024   12:04 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis untuk memenuhi kebutuhan tugas mata kuliah Komunikasi Politik Tengku Raihan (230904051) dan Muhammad Khalish (230904007)

Jelang Pilkada 2024, kita menyaksikan gencarnya arus kampanye digital yang kian masif di media sosial. Ini menjadi peluang besar bagi para kandidat untuk menyampaikan visi, misi, dan program mereka secara lebih cepat dan langsung kepada masyarakat luas. Namun, perlu disadari bahwa kampanye digital yang pada dasarnya dirancang untuk menciptakan ruang kompetisi yang sehat dapat menjadi alat manipulasi politik ketika terjadi intervensi dari aktor-aktor yang seharusnya menjaga netralitas, seperti pemerintah daerah. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi mencederai asas keadilan, transparansi, serta kredibilitas pemilu itu sendiri.

Beberapa contoh nyata di Pilkada sebelumnya menunjukkan betapa krusialnya masalah ini. Pada Pilkada Jawa Barat 2018, terdapat dugaan penggunaan akun media sosial resmi pemerintah untuk mendukung kandidat tertentu, sementara pada Pilkada DKI Jakarta 2017, muncul tuduhan pemanfaatan anggaran pemerintah untuk mengampanyekan salah satu calon. Bahkan, pada Pilkada Sulawesi Tenggara 2020, pejabat daerah diduga menggunakan platform digital yang dikelola pemerintah untuk mempromosikan figur tertentu. Fenomena semacam ini tidak hanya menunjukkan ketidakadilan dalam kompetisi politik, tetapi juga berimplikasi pada pembelokan opini publik melalui distribusi informasi yang bias dan cenderung manipulatif. Ketika pemerintah, yang seharusnya berperan sebagai pengawas dan penjaga netralitas, justru terlibat aktif dalam mendukung salah satu kontestan, maka yang terancam bukan hanya keadilan pemilu, melainkan juga legitimasi hasil pemilu itu sendiri.

Intervensi seperti ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Penggunaan platform digital oleh otoritas daerah tidak hanya menciptakan ketimpangan akses informasi di antara para kandidat, tetapi juga mendistorsi realitas di ruang publik. Bias informasi yang tercipta, apalagi jika datang dari kanal-kanal resmi, dapat mengaburkan pandangan masyarakat tentang siapa kandidat yang benar-benar layak. Hal ini pada gilirannya menyebabkan proses deliberasi publik menjadi tidak sehat, karena masyarakat hanya mendapatkan informasi yang telah dimanipulasi untuk keuntungan pihak tertentu.

Padahal, esensi dari kampanye digital adalah menciptakan sebuah ruang komunikasi yang inklusif, di mana kandidat dapat menjangkau pemilih dan menyampaikan narasi yang relevan secara adil dan transparan. Sayangnya, ketika ruang ini dirusak oleh kepentingan politik aktor-aktor yang berkuasa, kampanye digital yang seharusnya mendorong partisipasi politik yang lebih luas justru menjadi alat pengaburan realitas dan manipulasi persepsi. Jika tidak ada upaya nyata untuk menghentikan praktik-praktik ini, maka Pilkada 2024 berisiko menjadi sebuah proses yang kehilangan integritasnya.

Untuk itu, perlu ada tindakan yang komprehensif dan tegas dalam menghadapi potensi penyalahgunaan kampanye digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Regulasi yang lebih ketat harus segera diterapkan untuk memastikan bahwa kanal-kanal informasi milik pemerintah tidak disalahgunakan sebagai alat propaganda. Selain itu, lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu perlu memperkuat pengawasan terhadap kampanye digital, dengan menitikberatkan pada transparansi dan keadilan akses informasi bagi semua kandidat. Independensi pengawasan menjadi faktor kunci untuk menjaga agar proses demokrasi ini tidak tercemari oleh kepentingan politik pragmatis.

Namun, pengawasan regulatif saja tidak cukup. Perlu ada upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki literasi digital yang memadai. Edukasi tentang cara mengidentifikasi informasi yang bias dan manipulatif harus terus digalakkan. Literasi digital yang baik akan membekali masyarakat dengan kemampuan untuk menilai secara kritis setiap narasi yang mereka temui di ruang digital, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh kampanye-kampanye yang bermuatan manipulasi. Dalam konteks ini, peran akademisi, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil menjadi sangat strategis untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana seharusnya kampanye digital berjalan.

Pada akhirnya, Pilkada 2024 adalah sebuah peluang bagi bangsa ini untuk menunjukkan kedewasaan demokrasi kita. Proses ini harus berjalan secara jujur dan adil, di mana setiap kandidat mendapatkan kesempatan yang setara untuk menyampaikan gagasannya, dan setiap pemilih berhak mendapatkan informasi yang akurat dan objektif. Jika kita ingin menjaga kualitas demokrasi Indonesia, maka kita harus menolak segala bentuk intervensi yang mencederai integritas kampanye digital. Mari kita pastikan bahwa Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang kontestasi politik, tetapi juga menjadi momentum untuk memperkuat tatanan demokrasi yang sehat, transparan, dan berkeadilan bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun