Mohon tunggu...
Tengku Irfan
Tengku Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Merancang Senjata dengan Kata-kata

Orang Kini dengan Syahwat Masa Lalu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Wali Kota yang Mengembalikan Paris van Sumatra

25 Juli 2024   10:02 Diperbarui: 25 Juli 2024   10:32 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kota Medan bolehlah dikatakan kota yang amat teratur bagi seluruhnya Indonesia. Rumah batu tiadalah boleh didirikan di sembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah ditentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tiada menyaksikan yang baru di samping yang usang, yang bersih indah di sampingnya yang kotor bobrok seperti di Ibu kota Jakarta umpamanya. Lihat sajalah di Ibu kota Indonesia ini. Wilayah Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan kebonnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor-gelap yang berdempet-dempetan di pinggir selokan tempat mandi, berkumur-kumur dan... buang air besar dan kecil; rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah kota pula.

Pasar di Medan amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap yang indah permai bikinannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebersihan. Pasar ini tidak saja menarik hati, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat penghidupan beberapa teman saya."

Begitulah sepotong kenangan Tan Malaka tentang Kota Medan yang ia tulis dalam autobiografinya Dari Penjara ke Penjara pada September 1947. Sutan Ibrahim Gelar Sutan Malaka kembali lagi ke Medan setelah 20 tahun dalam persinggahannya dari Penang menuju pulau Jawa di tahun 1942. Tan Malaka, waktu itu bahkan tak segan membandingkan Medan dengan Jakarta, ibu kota sebuah republik baru bernama Indonesia.

Het Dolllar Land - Medan, kawasan rawa-rawa itu berubah wajah bak gadis molek yang memesona siapa saja yang memandangnya, pasca masuknya investasi perkebunan asing ke tanah Deli. Medan menjadi sentra ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial meresmikan Gemeente (Kota) Medan pada 1 April 1909.

Sebagai sentra ekonomi dan politik di Hindia Belanda, pemerintah kolonial menciptakan Medan menjadi kota berkelas dunia, hunian nyaman bagi para Deliaan (orang Belanda di Deli) dan warga lokalnya lengkap dengan fasilitas kota yang modern, asri dan indah. Senada Tan Malaka, Sejarawan Medan Drs H Muhammad TWH mengisahkan kondisi Kota Medan waktu itu;

"Kota Medan pernah dijuluki Paris van Sumatra. Itu mungkin karena pada masa itu kota ini begitu mulus, indah, dan tertib. Setiap hari mobil penyapu jalan dengan sapunya yang bundar, berkeliling menyusuri sudut kota untuk membersihkan jalan dari segala macam sampah, termasuk kotoran kuda dan lembu. Di belakangnya menyusul mobil mengangkut sampah dan kotoran tersebut untuk dibawa ke tempat pembuangannya."

Menurut akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Edy Ikhsan M.Hum berdasarkan catatan Belanda Verslag Betreffende Gemeente Medan Over Het Jaar 1920 yang diterbitkan Varekamp & Co, penerbit terkenal masa itu. Kota Medan mulai dibangun dengan perspektif lingkungan dan kebersihan  yang kuat. Rumah-rumah penduduk, jalan dan bangunan kantor didisain secara terencana sampai bagaimana mengangkut kotoran manusia yang berada di pemandian-pemandian umum.

Catatan tahun itu, Kota Medan berencana membuat riol untuk penanggulangan banjir dan telah ditetapkan dengan menunjuk arsitek T.A.B.R.O.S dari Utrecth. Sayangnya, riol-riol itu tidak lagi digunakan pemerintah kota saat ini.

Masa itu, setiap tahun Wali Kotanya membuat laporan dalam bentuk buku dan dipublikasikan ke masyarakat. Dewan-dewan Kotanya- Gemeente Raad- bekerja dengan penuh amanah. Pada saat buku laporan itu dibuat ada tujuh belas tokoh di dalamnya, antara lain Abdullah Lubis, Tengku Besar Amaluddin dan Tjong A Fie.

Mengenang masa lalu Kota Medan dan membandingkannya dengan kondisi hari ini tentu kita bak mendengar dongeng saja. Medan, kota kelas dunia yang konon salah satu kota terindah di Asia itu, kini seperti meninggalkan ruhnya. Ia berubah wajah menjadi jelek, kusam dan kotor. Alih-alih berharap pembangunan Kota Medan berlandaskan perspektif lingkungan dan kebersihan. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah merilis Medan sebagai salah satu kota terkotor dengan timbunan sampah terbesar di luar pulau Jawa.

Mengembalikan Paris van Sumatra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun