Tertulis dalam Kitab Pararaton, tutur tentang seorang pandai besi terkenal bernama Empu Gandring dari Kerajaan Tumapel, sebelum munculnya Kerajaan Singosari di Jawa Timur dahulu kala. Empu Gandring terkenal bukan saja karena keahliannya menempa keris, tetapi ia juga mampu meneteskan linuwih, jampi-jampi mandraguna, ke dalam setiap keris tempaannya.
Linuwih itu bisa dimanfaatkan untuk kebajikan, bisa pula digunakan untuk hal-hal negatif berkaitan dengan angkara murka, tahta dan wanita.
Disebutkan, ide pembuatan keris itu berawal ketika Ken Arok, seorang pemuda tampan yang secara kebetulan berjumpa dengan Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung. Perjumpaan tak terduga itu membuat Ken Arok terpesona, demi melihat keindahan betis Ken Dedes. Dalam kisah lain disebutkan Ken Arok tidak hanya melihat betisnya, tetapi sempat juga melihat ‘kemaluannya’, entah bagaimana bisa begitu. Dalam penglihatan Ken Arok, kemaluan Ken Dedes memancarkan sinar yang temaram dan berkelap-kelip. Bukannya takut, malahan Ken Arok ingin memilikinya. Pergilah ia menemui Empu Gandring, untuk memesan keris sakti dengan rencana-rencana licik di kepalanya.
Sebagaimana diketahui, rencana Ken Arok terlaksana. Ia membunuh Tunggul Ametung dan berhasil merebut Ken Dedes. Akan tetapi cerita tidak berhenti disitu, kutukan telah berjalan. Korban pertamanya adalah pembuatnya sendiri, Empu Gandring, kemudian Tunggul Ametung sebagai sasaran utama, tewas meregang nyawa. Berikutnya putera Tunggul Ametung, Anusapati, berhasil melampiaskan dendam kesumat ayahnya, menikam Ken Arok hingga tewas. Terakhir, putera Ken Arok yang bernama Tohjaya membunuh Anusapati, dengan keris yang sama. Sampai Tohjaya, riwayat keris itu berakhir, tak diketahui siapa pewaris berikutnya. Ada cerita Tohjaya telah membuangnya ke Laut Selatan, menjelma menjadi Nyai Roro Kidul. Ada pula yang menyebut Tohjaya menancapkannya pada batu besar di Kaki Gunung Semeru, agar kesaktiannya melebur ke perut bumi, menjadi kutukan sejarah yang akan muncul sewaktu-waktu.
Salah satu kutukan keris Empu Gandring adalah, setiap kali ditarik keluar dari sarungnya ia wajib memakan korban. Keris itu tak dapat disarungkan kembali sebelum bermandi darah manusia.
Setara dengan kutukan Keris Empu Gandring itu adalah UU Tipikor, produk hukum dengan kesaktian yang sukar dicerna akal sehat. Sekali UU Tipikor diarahkan mengejar seseorang, maka orang itu wajib dinyatakan bersalah, tak ada kata mundur, tak ada penghentian penyidikan, tak peduli dengan asumsi intrik pribadi atau intrik politik. Pokoknya, jika seseorang telah dijatuhi sangkaan korupsi, tak ada lagi gunanya membela diri. Pengadilan wajib memenjarakannya dengan dakwaan korupsi!
Kesaktian fenomenal UU Tipikor itu diteteskan oleh seorang pakar hukum pidana, Maha Guru Hukum terkenal bernama Professor Romli Atmasasmita, masih sehat sekarang ini. Semula, kesaktian itu diperlukan untuk membekuk para koruptor yang terkenal lihai mempermainkan hukum. Namun demikian ada batasan-batasan operasional yang jelas. Agar UU Tipikor itu tidak disalahgunakan, maka dibuat ketentuan-ketentuan yang mengikat di setiap pasal-pasalnya. Salah satu ketentuan yang mengikat itu adalah, seseorang dapat dijatuhi sangkaan korupsi jika telah didapatkan bukti otentik. Bukti otentik itu antara lain menyangkut, anggaran negara yang mana yang dikorupsi, berapa jumlahnya dan kapan terjadinya. Lalu dikemanakan anggaran yang dikorupsi itu. Barulah kemudian UU Tipikor mengenai TPPU beraksi, menyita semua harta-benda yang dimilikinya yang patut diduga berasal dari uang yang dikorupsinya itu. Seseorang tidak bisa dituduh korupsi hanya karena ia terlihat memiliki uang yang banyak.
Pada Acara ILC beberapa waktu lalu, Profesor Romli Atmasasmita muncul dengan wajah berat. Bersama sejawatnya, Professor JE Sahetaphy, mereka sependapat bahwa tindakan KPK terhadap Luthfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fatonah, tidak sesuai dengan prosedur hukum yang ditetapkan dalam UU Tipikor. Seseorang tidak bisa di tahan dan disita harta bendanya hanya dengan tuduhan ‘patut diduga melakukan tindak pidana korupsi’. Wajib ditentukan dahulu kejahatan pokoknya; anggaran negara yang mana yang dikorupsinya, berapa jumlahnya dan kapan dilaksanakanya. Barulah kemudian disusul dengan dakwaan TPPU dan dilakukan penyitaan.
Juru bicara KPK, Johan Budi, yang juga hadir dalam acara itu menjawab dengan dingin: “Pak Professor bisa saja menginterpretasikan seperti itu. Kita tunggu saja hasil persidangan. Sekarang proses persidangan sedang berlangsung. Bersabar saja, jika ada yang keberatan, silakan kita berdebat di pengadilan ……!”
Siapa pun bisa melihat betapa tegang ekspressi Professor Romli Atmasasmita mendengar jawaban itu. Barangkali dalam hati ia merasa telah salah meneteskan kesaktian kepada UU Tipikor itu, tetapi ia tak bisa menariknya lagi. Untuk selanjutrnya, jika UU Tipikor disalahgunakan, seluruh ilmu dan harga diri Profesor Romli akan terlibat di dalamnya. Dengan jelas ia membaca kemungkinan penerapan UU Tipikor dalam suatu kasus yang ekstrim: Seorang bayi bisa ditahan dan dipenjarakan dengan tuduhan, “Patut diduga setelah besar nanti ia akan melakukan korupsi!”
Bisa jadi pula, jika Profesor Romli Atmasasmita bertahan dengan argumentasinya beliau bisa dikenai pasal tuduhan menghalang-halangi usaha pemberantasan korupsi, hal yang sama nyaris ditimpakan kepada Fachri Hamzah. Jika hal demikian terjadi, kisah mirip keris Empu Gandring benar-benar terjadi di jaman sekarang ini. Professor Romli Atmasasmita terancam ketenteraman hidupnya oleh produk hukum yang dibuatnya sendiri.
*****
Setiap tanggapan atas tulisan ini akan saya jawab. Tanggapan cerdas dijawab cerdas, tanggapan jorok dijawab jorok. Terserah Anda maunya apa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H