Aksi panggung grup musik eksentrik itu tak perlu diragukan lagi. Berjingkrak-jingkrak dan memekik-mekik, memang itulah merek dagangnya. Penontonnya pun melakukan hal sama. Merangsek mendekati panggung, sebagian lagi membentuk koloni di kegelapan, menari-nari sambil menenggak miras. Meskipun kegiatan ini merupakan pagelaran seni yang dipersepsikan sebagai ajang mengasah ketajaman naluri, tapi jangan berharap menemukan keluhuran budi di dalamnya. Ini adalah panggung hura-hura. Dalam penilaian orang kampung seperti saya, lagak-laku mereka itu tak ubahnya seperti sekelompok monyet sedang mempertontonkan kebodohannya!
Dari suatu tempat yang agak tinggi, saya menonton keriuhan itu sejenak saja, lalu pergi. Teman saya yang seorang dokter ahli forensik mengajak saya cepat-cepat menuntaskan makan malam. “Akan banyak kejutan malam ini,” ia berkata. Kalau pun hendak menonton pagelaran musik, kami sepakat untuk menunggu pertunjukan di ruangan tertutup, dengan kualitas musik yang terukur dan tata-krama yang berkelas.
****
Benar saja! Tak lama setelah kami sampai di kantornya, satu unit mobil ambulan masuk, langsung dimundurkan ke halaman bangsal forensik. Teman saya menghampirinya diikuti sejumlah pembantu. Satu jenazah dikeluarkan dari dalam mobil itu, di dorong memasuki ruangan visum et-repertum. Supir ambulan itu memberitahu saya bahwa pasien itu dijemputnya dari sekitar konser musik. Seorang pemuda bertatto dengan tusukan dalam di punggungnya. Ia tewas di tempat.
Ambulan berikutnya datang lagi. Kali ini korban adalah seorang banci. Meskipun bertatto gambar ular kobra di lengannya, tetapi memakai wig dan BH. Pisau itu menancap di dadanya sebelah kiri, menembus BH. Juga tewas di tempat.
Berikutnya lagi, berikutnya lagi, berikutnya lagi!
Total seluruhnya ada lima jenazah. Semuanya bertatto, semua tewas dengan luka tusukan benda tajam. Mereka di bawa ke rumah sakit itu untuk mendapatkan visum, sambil menunggu keluarganya mengambilnya. Jika tak ada yang mengambilnya, dalam dua bulan, jenazah itu akan dimakamkan oleh pihak rumah sakit atas biaya negara.
Kepada supir-supir ambulan itu saya mengeluhkan betapa fana-nya dunia ini. Mereka yang telah susah payah dilahirkan oleh ibunya, dibesarkan dengan segala penderitaan, tiba-tiba berakhir semengenaskan itu. Hingga sore harinya mereka masih berbicara dengan ibunya, masih makan dan bercengkerama, tetap di konser itu semuanya berakhir. Mereka telah berangkat menuju perjalanan jauh entah kapan sampainya…..
Dalam kemashgulan itu, di luar dugaan saya, malahan sopir ambulan itu berkata: “Itulah baiknya ada konser, mengurangi jumlah preman. Malam ini berkurang lima, yah, lumayan…!”
O…, dunia!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H