Berangkat dari peranan ABRI di masa lalu - populer disebut dwi fungsi - ketika itu ABRI memegangperan vital di setiap lembaga kenegaraan mulai dari eksekutif, yudikatif dan legislatif. Tak ada kegiatan kenegaran yang tidak berbau keringat TNI. Bentuk organisasinya yang ketat (mereka menyebutnya garis komanado) membuat ABRIsangat mudah dikendalikan, dibelokkan, dimanfaatkan untuk tujuan politik. Jika komandannya di Jakarta berteriak bahwa langit itu kuning maka seluruh anak buahnya dari Sabang sampai Merauke membenarkannya. Keadaan itu membuat ABRI dihujat dan dicaci-maki sebagai bagian yang ikut menanggung segala kegagalan pemerintahan di masa lalu.
Sejarah mencatat Presiden Suharto dapat melanggengkan kekuasaannya selama 34 tahun karena dukungan ABRI. Pak Harto mewanti-wanti bahwa pembangunan hanya bisa dilaksanakan di atas lantai yang aman dan tenteram. Karena itu ABRI adalah modal dasar pembangunan. Ada benarnya, ada tidak benarnya. Ada positifnya ada negatifnya.
Kemudian jaman berganti, manusia lahir dan mati, Pak Harto yang fenomenal itu pun telah menghuni alam kebadian kini. Yang dianggap baik di masa lalu dipandang buruk di masa kini. Yang dianggap pahlawan saat ini, mungkin, dimasa depan akan dimaki-maki….
Akan tetapi jika kita sedikit melapangkan hati untuk menilai, secara jujur kita mesti mengakui bahwa TNI dan Polri merupakan institusi negara yang paling tekun mereformasi diri pasca-Orde Baru, 1998. Di saat institusi lain masih tertatih-tatih, juga masyarakat masih tenggelam dalam euphoria, TNI/Polri telah melesat ke depan. Sekarang ini tak ada lagi tentara atau polisi petantang-petenteng pamer senjata tanpa di-strap oleh atasannya. Tak ada lagi penunjukan otomatis menjadi Anggota DPR, menjadi bupati atau menjadi gubernur. Semuanya telah mengikuti prosedur normal, menempatkan profesionalisme sebagai peta jalan pengabdian. Ada pun oknum-oknum - namanya juga oknum - takkan pernah hilang selagi setan masih gentayangan di muka bumi. Yang pasti, TNI/Polri saat ini telah mereformasi diri dengan pencapaian yang melegakan hati.
Tetapi mengapa masih terus dicaci-maki?
Sudah barang tentu ‘marah’ tandanya ‘sayang’. Seseorang memaki-maki sesuatu karena seseorang itu berharap keadaan yang lebih baik. Akan tetapi sama halnya dengan menghujat anak di dalam rumah, hujatan yang terus-menerus tidak baik akibatnya. Usaha yang tidak dihargai akan menimbulkan frustrasi, dan frustrasi menimbulkan apatisme. Sedangkan aparatur yang apatis, melulu bicara undang-undang dan aturan-aturan, sama menjemukannya dengan petugas yang over-akting!
Kita menginginkan anggota TNI/Polri yang tanggap, tanggon, trengginas bertindak membantu kesulitan masyarakat. Karena untuk tujuan itulah institusi ini didirikan, menyatu dengan tugas beratnya selaku penegak hukum, pelindung bangsa dan negara. Kita tidak menginginkan seorang anggota TNI menjawab: “Itu bukan tugas saya!” ketika ia diminta melerai perkelahian jambak-jambakan antara ibu-ibu sosialita di arisan PKK.
Sebagai institusi yang diisi oleh putera-puteri terbaik bangsa ini, sudah waktunya kita menghargai apa yang mereka lakukan. Untuk membantunya memperbaiki diri, sudah waktunya kita memuji-muji. Jangan menghujatnya lagi.
Salam hangat untuk anggota TNI yang menjaga perbatasan. Salam hangat pula untuk anggota Polri yang berselimut debu menjaga lalu lintas di persimpangan jalan.
Merdeka!
Add. Tengku Bintang Timur Yang Bermukim di Tepi Hutan.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H