Saya pernah menonton berita televisi seorang anak balita yang menderita penyakit kurang gizi dirawat di rumah sakit. Menyedihkan memang, anak itu kurus kering dan perutnya buncit. Tapi yang lebih menyedihkan adalah tampilan ayah-ibunya yang mendampinginya. Ibunya tidak kurus, malah cenderung gemuk, sedangkan ayahnya duduk di sisi ranjang sambil merokok ji...., rokok kretek yang mahal harganya!
Saya selalu berpikir, kurang gizi itu terkait minimnya ketersediaan makanan, tepatnya nasi. Kurang kenyang mengisi perut berakibat busung lapar. Kalau begitu, seberapa banyak sebenarnya anak itu menghabiskan beras sampai-sampai orangtuanya tak mampu menyediakannya? Sekilo dalam sehari? Berapa harga rata-rata sekilo beras di Indonesia ini? Sampai-sampai ada yang mencarinya ke luar negeri?
Di desa saya, di pedalaman Sumatera, harga sekilo beras slip rajalele adalah Rp. 7.000.-/kg. Itu bisa dibeli sebanyak 8 kg dalam sehari dari bekerja sebagai tukang babat kebun sawit dengan gaji Rp. 60.000.-/hari. Kalau tak mau membabat bisa melangsir buah pakai sepeda motor, penghasilannya bisa Rp. 150.000.- sehari. Syukur-syukur masih mau kreatif malam hari, memasang bubu belut misalnya, tak susah mendatkan 10 kilo pagi harinya. Betapa mudahnya mendapat rejeki itu!
Jadi saya heran kalau ada anak balita menderita busung lapar karena kurang makan, di Indonesia ini, apalagi ayahnya mengisap rokok mahal. Alam begini ramahnya, Tuhan pun begitu pemurahnya. Asalkan manusia tidak memanjakan sifat malas, kecuali sedang dilanda bencana alam, tak ada kamusnya ada orang kelaparan di Indonesia ini, asalkan mau bekerja.
Ya, tapi kalau mau bertani jangan tinggal di Jakarta. Sebab padi tak bisa tumbuh di atas aspal Cililitan atau Kampung Rambutan. Kalau hendak bertani, harus kembali ke desa atau ber-transmigrasi. Hidup di desa tak sekejam ibukota!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H