[caption id="attachment_412421" align="aligncenter" width="336" caption="archive.kaskus.co.id"][/caption]
(Jumat, 24 Apr 2015) "Jangan ada kriminalisasi - sekali lagi saya ulang - jangan ada kriminalisasi", begitu yang saya ingat ucapan Presiden Jokowi hasil dari menengahi kisruh cicak vs buaya yang entah sudah serial keberapa? Terutama karena ditetapkannya Pimpinan KPK, BW dan AS sebagai tersangka oleh Kepolisian. Itulah secuil cuplikan himbauan atau perintah Presiden yang menurut saya hampir tidak punya makna apa-apa. Ukurannya apa, sanksinya apa? Lalu apakah dengan tidak menghentikan kasusnya BW maupun AS itu dianggap melakukan kriminalisasi? Bukankah akan sangat lucu kalau tiba-tiba Kepolisian menghentikan kasusnya BW maupun AS? Kepolisian tentu akan menjadi bulan-bulanan semua pihak kalau penghentian itu terjadi. Apakah terlalu sulit memperkirakan hal tersebut? Cobalah mengandai kita dipihak Kepolisian.
Pada banyak hal, saya termasuk pengagum BW, tapi ketika waktu itu BW tergambarkan meminta perlindungan Presiden bersama DI dengan mendatangi Istana, sementara juga tergambarkan bahwa BW merasa tidak bersalah dalam kasusnya, kenapa menagih ke Istana itu dilakukan? Bahkan sampai detik ini banyak yang menghendaki kasus BW dan AS untuk dihentikan, apakah hal itu tidak akan jadi penyesalan dikemudian hari? Kalau permintaan dihentikan itu dikabulkan oleh Kepolisian, lalu statusnya BW dan AS apa? Salah ataupun tidak salah, apalagi kalau memang merasa tidak salah, bukankah seharusnya justru minta disegerakan kasusnya? Menurut logika saya, justru disitulah seharusnya sebagai Presiden menengahi dan menjadi wasit pengamat masalah tanpa masuk kedalam masalah hukumnya, menginstruksikan kasusnya disegerakan sesegera mungkin! Jadi kalau ternyata tidak bersalah segera bisa dikembalikan nama baiknya dan kembali menjabat sebagai Pimpinan KPK.
Hukum di Negeri ini untuk kesekian kalinya terbukti bukan diimplementasikan demi keadilan, tapi sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaan, untuk menunjukkan keperkasaan, itulah sebab tidak ada ukuran kepastiannya. Contohnya, ketika mendengarkan berita tentang pemeriksaan yang kesekian kali terhadap BW pada Kamis, 23 April 2015, gonjang-ganjing tentang apakah BW akan ditahan atau tidak? Kalau kita simak banyak berita, baik itu dari KPK, dari Kepolisian maupun dari Pengacaranya BW, bukankah bisa disimpulkan hukum di Negeri ini adalah tergantung dari tawar-menawar? Siapa menawar apa, seberapa tinggi kedudukan, itulah yang menentukan. Jadi ditahan atau tidaknya BW itu ternyata juga karena negosiasi, tidak ada rumusan yang pasti bukan? Semua dalih hanya untuk membenarkan kenapa berakhir begitu, dan itulah kenyataan banyak perjalanan hukum di Negeri ini, seperti seseorang yang ada di tengah simpang tujuh, kemanapun jurusan kaki melangkah semuanya sah dan punya alasan pembenarnya masing-masing, hukum memang terserah yang sedang kuasa saja. Setidaknya itulah pengamatan dari kacamata saya, kacamata orang yang tidak paham hukum sama sekali, jadi mohon maaf kalau salah.
[caption id="attachment_412422" align="aligncenter" width="420" caption="wartabuana.com"]
Ketika waktu itu mendengar penghentian pemeriksaan AS di kampung halamannya karena sakit perut dan seterusnya alasan yang menjelaskan, apa yang terpikir di benak para pembaca? Pimpinan KPK yang berlatar belakang Aktivis, Pengacara, terkenal pemberani, sudah mewakafkan hidupnya dan seterusnya saja bisa stress kalau menghadapi pemeriksaan, bagaimana dengan kita semua rakyat Indonesia yang tidak paham tentang hukum? Itulah yang terbersit dipikiran saya ketika mendengar AS dibilang sakit maag sehingga pemeriksaannya tidak dilanjutkan. Itupun juga tebakan ngawur versi saya, karena memang saya pernah dengar sakit maag juga bisa kambuh disebabkan karena stress.
Buntut dari gonjang ganjing cicak vs buaya yang paling rame adalah penetapan tersangka terhadap BW, AS dan DI mantan Wamen, ketiganya haqul yakin merasa tidak bersalah, alias merasa dikriminalisasi, menurut saya ayo segerakan adili kasusnya, gunakan sebanyak mungkin Pengacara terhebat, dan komunikasikan secara terbuka dan terang benderang kepada rakyat semua jalan peristiwanya, supaya rakyat punya pandangan tersendiri yang lebih obyektif. Jangan lupa Pimpinan yang berwenang harus memberi sanksi pemecatan kepada pihak yang menetapkan mereka sebagai tersangka jika ternyata ada satu saja diantara mereka yang tidak dijatuhi hukuman di Pengadilan, karena itulah yang namanya tanggung jawab, terlebih perkara ini sudah menguras banyak tenaga semua dan bukti adanya permainan hukum.
Untuk ketiga tersangka, sekali lagi menurut pendapat saya yang adalah rakyat jelata, itu adalah jalan terbaik dari pada minta dihentikan kasusnya, untuk apa menunda masalah yang justru akan mendekap stigma negatif? Bukankah kalau kasus tersebut dihentikan tanpa jelas statusnya, mereka bertiga justru tertutup kemungkinannya untuk memegang jabatan apapun dikemudian hari, kompetitor pasti akan menggunakan hal itu untuk menyerang dan menjatuhkan karena statusnya yang masih menggantung.
Kontroversi paling gres di Kepolisian adalah pelantikan Wakapolri, tanpa bermaksud menilai layak atau tidaknya BG, menurut saya Presiden akan menuai tuduhan tidak konsisten, kalau begitu, kenapa tidak melantik BG sebagai Kapolri saja, bukankah statusnya masih sama dengan ketika Presiden menyatakan tidak jadi melantik? Sama-sama sudah ada keputusan praperadilan dan belum berubah apapun, apalagi kalau batasan ukuran waktunya adalah ketika BH dilantik sebagai Kapolri.
Katanya, pengangkatan Wakapolri harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden, itu yang saya dengar di tipi dari para ahli hukum. Apakah dengan Presiden memberi pernyataan "semuanya saya serahkan kepada Kapolri" itu membuat semuanya damai? Apakah itu tidak justru membuat tafsir yang bermacam-macam? Salahkah kalau misalnya ada rakyat yang justru mempertanyakan tentang Kapolrinya sendiri, misalnya: Bukankah seharusnya Kapolri tahu kalau Presiden tidak menghendaki BG memangku jabatan, kenapa sekarang BG diberi jabatan, apakah itu bukan mbalelo namanya? Menurut logika pengamatan saya, bagaimana itu semua mungkin terjadi sementara waktu itu beredar gosip Kabareskrim SA dicopot oleh pihak Istana dan diganti oleh BW, lalu kenyataan selanjutnya terlihat nyata. Kalau jabatan yang lebih rendah dari no.2 Korps Bhayangkara saja ditentukan oleh Istana, apa mungkin BH berani mendahului melantik BG kalau tidak dapat restu atau malah diinstruksikan oleh Presiden, ah .... curiga mereka hanya akting membuat polemik saja, layaknya sandiwara main pingpong, rakyat termasuk media didalamnya yang jadi net-nya. Atau juga jangan-jangan benar kecurigaan banyak orang, Presiden dibawah kendali Partai, karena memang Presiden ternyata hanya Petugas Partai ..... wah-wah-wah tambah runyam dan ngelantur macam-macam toh jadinya ....?
Kalau mengenai "akan ada matahari kembar di kepolisian", saya pikir itu tuduhan yang kurang cermat, ya tidak mungkin lah, coba sekali lagi bayangkan Anda jadi BH, kalau curiga wakilnya akan lebih kuasa, bukankah itu akan sangat mempermalukan diri Anda, dan apakah Anda akan mau memilihnya sementara Anda punya kewenangan penuh untuk memilih yang bersangkutan atau tidak?