Suatu pembahasan menarik dari Acharya dan Buzan yang meneliti bagaimana Islam melahirkan sebuah teori Hubungan Internasional. Sebenarnya HI dalam perpektif Islam sudah lama ada sejak awal berkembangnya agama Islam, hanya saja teori-teori tersebut masih sulit diakses oleh dunia yang didominasi oleh Barat.
Jika melihat dalam sejarah, negara Islam mempunyai cerita yang panjang. Islam sempat mengalami kejayaan peradaban karena didukung cara berpikir yang rasional. Begitu pula hubungan internasional Islam dengan metodologi berbasis epistemologi Islam membuat teori yang dihasilkan mengandung dua argumen, wahyu dan rasionalitas. Logika yang bersifat bebas dibatasi dengan wahyu Tuhan sehingga ia bersifat mutlak dan aksionatis tidak dapat diganggu gugat. Dampaknya teori HI Islam bersifat mutlak dan tidak bebas nilai.
Dengan melibatkan wahyu dalam ilmu HI akan membawa ilmu tersebut pada kesempurnaan ilmu yang sebenarnya dan menuntun manusia juga pada sifat sempurna. Manusia yang sempurna adalah manusia yang paham pada hakikatnya sebagai khalifah di bumi untuk ibadah kepada Tuhannya.
Kita bisa melihat bagaimana keputusan Rasulullah dalam HI-nya tidak pernah dipisahkan dengan worldview Islam yang sudah terangkum dalam Al-Qur'an. HI yang dilaksanakan Rasulullah bukan hanya sekedar membawa kepentingan dirinya dan kepuasaan pribadi, namun untuk mendakwahkan agama Islam yang saat itu masih lemah kekuatannya. Tidak ada kamuflase dan bermuka dua dalam diplomasinya, hanya kecerdikan Rasulullah dalam melihat karakter dari lawannya yang kemudia kepentingan yang dibawanya disesuaikan.
Seperti kisah Rasulullah yang berdiplomasi dengan penduduk Thaif untuk kedua kalinya. Saat itu setelah Fathul Makkah pengaruh Islam sudah sangat luas, penduduk Thaif masih belum masuk Islam meski masih berada disekitar wilayah kekuasaan Islam. Beberapa penduduk Thaif datang sebagai perwakilan sukunya untuk bernegosiasi dengan Rasulullah.
Awalnya mereka akan memeluk Islam jika diberi keringanan untuk tidak melakukan sholat, zakat, diperbolehkan zina dan khamr. Rasulullah menolak proposal mereka. Untuk kedua kalinya, diplomat Thaif itu datang kembali dengan membawa keinginan yang sama. Melihat itu, Rasulullah menerimnya dengan syarat mereka tidak diperbolehkan melakukan Zina dan Khamr.
Sedangkan masalah shalat dan zakat wajib dilakukan setahun kemudian. Seiringnya waktu, ketika penduduk Thaif tersebut meninggalkan perilaku yang buruk bersamaan dengan meningkatnya kesadaran mereka untuk melakukan ibadah fardhu.
Para Sahabat juga tidak pernah melepaskan al-Qur'an sebagai pedoman mereka dalam berinteraksi dunia luar. Terutama di masa Khulafaur Rasyidin, segala bentuk diplomasi selalu dikembalikan pada kepentingan agama dan ibadah. Deklarasi perang tidak sekedar mencaplok wilayah lainnya agar rasa aman dalam dirinya terjaga seperti yang dikatakan kaum realis. Atau berperang untuk mempertahankan ideologinya layaknya teori liberal yang menghalalkan kaum non-liberal.
Perang ofensif mulai dilakukan demi terjaganya stabilitas agama yang mulai goyah karena kelompok tidak beriman. Contohnya perang kaum murtad di pemerintahan Abu Bakar untuk menjaga keutuhan umat Islam dari internal maupun ekternal.
Mundurnya Nilai Hubungan Internasional Islam di Negara-negara Muslim
Semenjak munculnya dinasti-dinasti dalam Islam, arah HI Islam sudah tidak dilandaskan pada epistemolgi Islam. Kekusaan diperluas bukan lagi untuk memperkuat kaum Muslimin, namun lebih kepada kesenangan para penguasa yang cinta harta. Ini memperlemah sikap zuhud kaum muslim yang berimbas runtuhnya satu persatu dinasti.