Mohon tunggu...
Sabda13
Sabda13 Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tertutup | Mahasiswa

Tulisan yang dibuat bukanlah kebenaran mutlak. Hanya berupa sudut pandang penulis yang masih belajar. Oleh karena itu sangat terbuka pada diskusi terhadap kesalahan yang dibuat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meninggalkan Epistemologi Islam: Sumber Lemahnya HI di Negara Muslim

24 Oktober 2019   07:30 Diperbarui: 24 Oktober 2019   18:36 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konflik Khasmir yang masih berlanjut hingga saat ini, sumber: republika.co.id

Suatu pembahasan menarik dari Acharya dan Buzan yang meneliti bagaimana Islam melahirkan sebuah teori Hubungan Internasional. Sebenarnya HI dalam perpektif Islam sudah lama ada sejak awal berkembangnya agama Islam, hanya saja teori-teori tersebut masih sulit diakses oleh dunia yang didominasi oleh Barat.

Jika melihat dalam sejarah, negara Islam mempunyai cerita yang panjang. Islam sempat mengalami kejayaan peradaban karena didukung cara berpikir yang rasional. Begitu pula hubungan internasional Islam dengan metodologi berbasis epistemologi Islam membuat teori yang dihasilkan mengandung dua argumen, wahyu dan rasionalitas. Logika yang bersifat bebas dibatasi dengan wahyu Tuhan sehingga ia bersifat mutlak dan aksionatis tidak dapat diganggu gugat. Dampaknya teori HI Islam bersifat mutlak dan tidak bebas nilai.

Dengan melibatkan wahyu dalam ilmu HI akan membawa ilmu tersebut pada kesempurnaan ilmu yang sebenarnya dan menuntun manusia juga pada sifat sempurna. Manusia yang sempurna adalah manusia yang paham pada hakikatnya sebagai khalifah di bumi untuk ibadah kepada Tuhannya.

Kita bisa melihat bagaimana keputusan Rasulullah dalam HI-nya tidak pernah dipisahkan dengan worldview Islam yang sudah terangkum dalam Al-Qur'an. HI yang dilaksanakan Rasulullah bukan hanya sekedar membawa kepentingan dirinya dan kepuasaan pribadi, namun untuk mendakwahkan agama Islam yang saat itu masih lemah kekuatannya. Tidak ada kamuflase dan bermuka dua dalam diplomasinya, hanya kecerdikan Rasulullah dalam melihat karakter dari lawannya yang kemudia kepentingan yang dibawanya disesuaikan.

Seperti kisah Rasulullah yang berdiplomasi dengan penduduk Thaif untuk kedua kalinya. Saat itu setelah Fathul Makkah pengaruh Islam sudah sangat luas, penduduk Thaif masih belum masuk Islam meski masih berada disekitar wilayah kekuasaan Islam. Beberapa penduduk Thaif datang sebagai perwakilan sukunya untuk bernegosiasi dengan Rasulullah.

Awalnya mereka akan memeluk Islam jika diberi keringanan untuk tidak melakukan sholat, zakat, diperbolehkan zina dan khamr. Rasulullah menolak proposal mereka. Untuk kedua kalinya, diplomat Thaif itu datang kembali dengan membawa keinginan yang sama. Melihat itu, Rasulullah menerimnya dengan syarat mereka tidak diperbolehkan melakukan Zina dan Khamr.

Sedangkan masalah shalat dan zakat wajib dilakukan setahun kemudian. Seiringnya waktu, ketika penduduk Thaif tersebut meninggalkan perilaku yang buruk bersamaan dengan meningkatnya kesadaran mereka untuk melakukan ibadah fardhu.

Para Sahabat juga tidak pernah melepaskan al-Qur'an sebagai pedoman mereka dalam berinteraksi dunia luar. Terutama di masa Khulafaur Rasyidin, segala bentuk diplomasi selalu dikembalikan pada kepentingan agama dan ibadah. Deklarasi perang tidak sekedar mencaplok wilayah lainnya agar rasa aman dalam dirinya terjaga seperti yang dikatakan kaum realis. Atau berperang untuk mempertahankan ideologinya layaknya teori liberal yang menghalalkan kaum non-liberal.

Perang ofensif mulai dilakukan demi terjaganya stabilitas agama yang mulai goyah karena kelompok tidak beriman. Contohnya perang kaum murtad di pemerintahan Abu Bakar untuk menjaga keutuhan umat Islam dari internal maupun ekternal.

Mundurnya Nilai Hubungan Internasional Islam di Negara-negara Muslim

Semenjak munculnya dinasti-dinasti dalam Islam, arah HI Islam sudah tidak dilandaskan pada epistemolgi Islam. Kekusaan diperluas bukan lagi untuk memperkuat kaum Muslimin, namun lebih kepada kesenangan para penguasa yang cinta harta. Ini memperlemah sikap zuhud kaum muslim yang berimbas runtuhnya satu persatu dinasti.

Ibaratnya dinasti Islam terbentuk, kemudian para perintih tersebut berjuang dalam mencapai masa kejayaan. Secara perlahan, saat dipuncak mereka akan jatuh karena pemimpin yang ada hanya menikmati hasil kejayaan. Begitulah penjelasan Ibnu Khaldun dalam siklus sebuah peradaban. Namun itu bukan menjadi "harus" jika dalam peradaban tersebut memegang epistemologi Islam seperti yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat.

Dewasa ini, umat Islam tidak tergabung dalam satu kekuasaan seperti masa dinasti. Mereka telah terpecah dalam negara berbeda dengan bentuk pemerintahan yang tidak sama pula. Karakteristik pemimpin masing-masing negara mempengaruhi bagaimana mereka memerintah dan berinteraksi dengan negara lainnya.

Ini menjadi daya tarik untuk dijadikan pertunjukkan mengenai HI Islam di era modern yang dalam prakteknya lepas dengan epistemologi Islam. Jika dimasa dinasti, interaksi lebih banyak didominasi pada perebutan kekuasaan tertinggi antar dinasti atau interaksi wilayah muslim dengan wilayah non-muslim. Namun, sekarang dilihat bagaimana antar negara-negara Muslim atau negara Muslim dengan non Muslim yang sama derajatnya saling berhubungan.

Melihat karakteristik utama dalam HI Islam yang sudah mulai pundar, hubungan antar negara Muslim kecenderungannya saling bertikai. Mereka sudah lupa mengenai tujuan awal adanya teori bernegara dalam Islam adalah mencapai kedamaian dan sebagai bentuk ibadah. Bukti nyatanya saja hubungan Indonesia dengan Malaysia yang sudah mempunyai deretan drama pertikaian atas masalah sepele. Atau pertikaian yang ramai di Timur Tengah atas masalah perebutan minyak bumi atau ideologi Islam seperti Syiah dan Sunni.

Perspektif HI Barat sudah mulai masuk dalam HI Islam. Tidak ada nilai ukhuwah islamiyah dalam hubungan negara-negara Muslim. Semuanya didasari pada kepentingan negaranya masing-masing, tidak peduli mereka muslim atau tidak. Keinginan untuk mencapai target negara yang dikagumi menjadikan sifat negara muslim bergerak secara individualis.

Asal wilayah aman dan rakyat tenang, tanpa melihat disisi lain ada saudara kita diwilayah lain terjebak dalam kesengsaraan. Padahal awal dibentuknya ilmu HI untuk menjadikan hidup dunia yang didominasi oleh perang dapat dikurangi dengan teori-teori analisis mengenai perilaku negara,

Sudah banyak ilmuwan Muslim yang membahas bagaimana HI Islam sebenarnya berjalan. Mereka menjelaskan kembali awal dari terbentuk HI Islam yang berasal dari worldview Islam. Ini menjadi harapan bagi kita untuk lebih sadar bahwa HI Islam tidak sama dengan Barat yang lebih bersandar pada nafsu manusia.

Bacaan:

Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000

Amitav Acharya and Barry Buzan, Non-Western International Relations Theory, New York : Routledge, 2010

Muhammad Qobidl Ainul Arif, Kebangkitan Perspektif Islam dalam Studi Hubungan Internasional, Dauliyah Journal of Islamic and International Studies  International Relations Unida Gontor|Vol.1|No.2 August 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun