Saya pernah menetap di Solo tidak kurang dari 6 tahun. Dimulai sejak tahun 2009. Waktu itu, bagi saya, Solo adalah Jogja 5 tahun yang lalu. Masih berhati nyaman.
Selain lingkungan yang nyaman, Solo juga menawarkan makanan yang untuk lidah orang Jogja tidak lantas membuat gegar budaya. Hanya sedikit mengernyit karena manisnya kurang berani. Itu saja. Selebihnya, setelah beberapa sendokan, kamu akan merindukan piring berikutnya.Â
Sebagai contoh, Gudeg. Gudeg tidak hanya ada di Jogja, di Solo pun dia eksis. Hanya saja, cita rasanya berbeda. Rasa manis pada Gudeg Jogja terasa sangat berani, sedang Gudeg Solo, rasa manisnya berbagi mimbar dengan legit dan gurihnya olahan sayur nangka itu. Endes, orang bilang. Tapi ya, kalau soal gudeg, lidah saya tetap bersetia dengan Jogja.
Nah, ada satu masakan di Solo yang saya belum bisa menemukan tandingannya di kota asal saya. Meski bukan hidangan khas Solo, tapi nyatanya dia hanya ada di Solo. Sop buntut mbak Yenni. Sop Buntut mbak Yenni adalah magnet kuliner bagi kami, saya dan istri.Â
Bahkan, kadang, itu jadi satu-satunya alasan bagi kami untuk kembali ke sana. Sekadar membuka kenangan lalu. Menuntaskan rindu. Melampiaskan segala hawa nafsu.
Sop Buntut mbak Yenni. Menyebutnya saja sudah menerbangkan imaji di langit-langit rongga mulut. Mencurahkan liur yang hampir menetes tapi masih berhasil ditarik kembali.. Sssrrrpppp..Â
Sop Buntut mbak Yenni.. Kuahnya, Saat dihidangkan, aroma rempah biji palanya, hmmm.. langsung menguar. Merelaksasi ketegangan-ketegangan. Tidak heran jika bangsa eropa jauh-jauh datang ke sini demi ini. Gurih kuahnya, konkrit.. dan akan semakin paripurna dengan tambahan perasan jeruk nipis. Saat pertama disruput, sluurrppp.. Air liur di sela-sela gigimu langsung menderas.Â
Gurih kaldunya, rempahnya yang intens, jeruk nipis yang membuat lemak-lemak terasa lebih ringan, adalah kombinasi yang membuat ingatanmu soal kadar kolesterol langsung menguap entah kemana.
Daging buntutnya, So tender.. Lembut, empuk. Kamu tidak perlu bersusah payah melepasnya dari tulangnya. Seperti orang berserah diri, dia mengikuti takdirnya. Takdir sendok yang kamu gunakan.
Sayurnya, Hanya ada satu potong kentang berukuran lumayan, dan satu potong wortel yang tidak kalah lumayannya, sekira 5cm. Untuk kentangnya, saya anggap biasa saja.Â
Tidak beda dengan tekstur kentang pada umumnya. Tapi, untuk wortelnya, belum pernah saya temukan di tempat lain yang bisa memasaknya seperti ini. Saya mengira, pasti sayuran ini dipresto terlebih dahulu sebelumnya.Â
Empuk tapi tidak mblenyeh. Saking empuknya, dia bisa dipotong dengan menggunakan sendok tanpa menggunakan tenaga berlebih, dan jejak potongannya seperti menggunakan pisau. Rasanya manis. Ajiibbb.. Enak sekali.
Dan, sambal.. Bagi yang tidak suka pedas, abaikan saja sambalnya, dan itu tidak mengurangi keagungannya sebagai sop. Tetap luar biasa. Tapi, bagi saya, sambal adalah kondimen wajib. Dosa kalau tidak ada.Â
Awal mula saya berkenalan dengan Sop Buntut mbak Yenni, setelah berpelukan dan cipika-cipiki, saya langsung under estimate melihat penampakan sambalnya. Sambal kok gitu, batin saya.Â
Nampak gelap, seperti menggunakan kecap. Padahal, kecap, untuk masakan berkuah, seperti soto, bakso, pun juga sop, dia hanya merusak rasa. Tapi saya berdosa sudah berburuk sangka.Â
Tidak seperti yang saya bayangkan. Setelah saya aplikasikan, ternyata tidak ada sambal yang lebih pantas melengkapi sop buntut mbak Yenni selain sambal ini. Astaghfirullah..
Kalaupun ada makanan yang berhak masuk surga, pastilah dia Sop Buntut mbak Yenni. Saya doakan..Â
Oiya.. Jangan lupa pakai krupuk. Biar kalau ada orang nyinyir didepanmu, kamu ndak denger..Â
*Dulu lokasi warung ada di daerah Penumping. Sekarang sudah berpindah ke Jl. Moh. Yamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H