Selalu saja kau hakimi dirimu, meskipun tak butuh ketukan palu. Empat kali dalam sebulan. Dimulai ketika magrib telah lepas hingga malam sampai pada sepertiga pertama. Kau kurung sendiri dirimu dengan melihat kebahagian orang lain.
Kau mengambil keputusan sepihak dengan menyatakan malam itu adalah malam yang gagal. Tuhan pun kau salahkan. Katamu, engkau tak pernah mendapat bagian kebahagiaan. Padahal kau masih saja mengambil dan membuang napas. Kau pun tak peduli pada nyamuk yang mengeroyok.
Seharusnya kau tak perlu terkurung oleh teralis kebahagiaan orang lain. Menempati anjungan yang beku. Menggerutukan keadilan.
Padahal itulah saat yang tepat bagimu untuk melakukan perjalanan yang lebih jauh. Lebih lama dan lebih mesra. Perjalanan yang tak akan membuatmu lelah. Pasrah