Cahaya lembayung terburai di batas horizon saat suara merdu adzan Maghrib berkumandang memenuhi langit malam. Matahari tenggelam dalam pandangan Kanz. Seperti biasa, Kanz berburu waktu bersama kawan-kawannya untuk shalat di masjid yang sama bertahun-tahun lamanya.
Kanz memiliki sahabat sejati. Ia teramat menyukai Aariz, semua kawan-kawannya bisa memakluminya, Aariz adalah lelaki istimewa, lelaki pelantun adzan paling merdu di Desa Pesantren.
Desa yang jauh dari hingar-bingar perkotaan itu dihuni para santri dari seluruh pelosok negeri. Dipimpin oleh Buya Makarim yang sangat berwibawa. Kanz menyukai tausiah yang diberikan Buya setiap malam minggu, khusus untuk dirinya dan kawan-kawannya.
Bila disandingkan dengan Ustadz Abdul Somad, suara Buya Makarim saat mengaji, jauh lebih indah namun keduanya memiliki selera humor yang sama.
Kanz pernah protes pada Buya Makarim agar memberikan tausiah pada malam Jum'at yang sering dikeramatkan penduduk asli Desa Pesantren. Jawaban Buya diluar dugaan.
"Kau ini, sudahlah tak tampak wujudmu, mau pula menakut-nakuti warga sini, heh?" sentil Buya sambil mendelik tapi senyumnya menyabit membuat roman mukanya tampak lebih lucu.
"Bila aku berceramah malam Jum'at, tanpa ada seorang pun terlihat, nampak bagai kesurupan atau berceramah untuk para hantu," jawab Buya sambil tertawa geli.
"Malam Minggu lebih netral, aku seperti seorang yang sedang latihan berpuisi, masihkah kau keberatan, Ananda Kanz?" tanya Buya dalam mimik serius.
Kanz sekuat tenaga mengoncangkan Pohon Pisang dihadapan Buya, seringkali ia kehilangan kekuatan untuk menampakkan diri hingga berusaha memberi tanda persetujuan dengan cara lain. Daun-daun Pisang kipas membungkuk tunduk.
"Lagi pula muridku, Ananda Aariz, baru bersedia mengaji di kebun ini setiap malam Minggu, maklumlah, usianya baru remaja. Masih banyak rasa takut dalam dadanya."
Lanjut Buya,"Usia Aariz baru lima belas tahun. Kau memang masih remaja juga, tapi usiamu sepuluh kali lipat usianya. Tentu pengalamanmu jauh lebih banyak."