Coba kuingat lagi. Memiliki seorang adik yang terbelakang mentalnya, tanpa kedua orangtua dan tak lulus SMA. Bagaimana ini? Mana bisa aku menyerahkan anak perempuanku satu-satunya pada Ibrahim dengan catatan seperti itu. Jangan-jangan kepergian kedua orangtuanya pun mengerikan.
Saling bunuh?
Entah wajahku seperti apa mereka saksikan. Rasa sangsiku bertambah.
Astaghfirullah hal'adzim!
Ghania... oh Ghania... kau tak tahu apa yang Ibu rasakan sekarang.
"Ibu tunggu Bu Meita, eh, Bude Metia saja yang menjelaskan. Untuk saat ini pembicaraan tentang lamaran kita sudahi." kata-kata pamungkas meluncur cepat. Keputusan diambil paling cepat seminggu lagi.
Kedua anak muda saling pandang, mereka kebingungan. Cinta memang belum terbangun kokoh. Untuk kawin lari jauh sekali dari pikiran mereka. Tapi, guratan luka yang membuat memar rasa hati kedua insan mulai jelas jejaknya. Tinggal do'a yang dilantunkan mereka, sanggupkah mengubah rasa hati sebuah jiwa.