Saat menjadi mahasiswa untuk yang kesekian kalinya, gara-gara harus linier dengan bidang pekerjaan. Saya merasa miris dengan kelakuan beberapa teman mahasiswa yang cenderung mau enaknya saja.Â
Malas bikin tugas tapi nilai harus bagus. Malas baca, ujian maunya lulus. Bikin tugas akhir berupa skripsi nggak mau repot, sepertinya akibat salah tafsir jurus mantan Presiden Gus Dur, "Gitu aja kok repot!"
Ketika berdiskusi juga bukan cari solusi. Malah kebanyakan aksi dan orasi yang cuma basa-basi. Bikin mengantuk dan akhirnya diskusi jadi benar-benar basi.
Memang, tak semuanya mahasiswa begitu. Hanya kebanyakan bersikap seperti itu, lalu kira-kira mahasiswa model apa kamu saat ini?
Setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan oleh para mahasiswa yang memiliki gelar siswa tertinggi setelah, TK, SD, SMP dan SMA. Sebutan sebelum masuk perkuliahan hanya berkisar; anak didik, murid, siswa dan pelajar saja.Â
Tanpa embel-embel 'Maha' yang sebenarnya memiliki konsekuensi yang tinggi. Yuk cari tahu, sudahkah yang mengaku mahasiswa melakukan hal-hal di bawah ini?
1. Pakai potensi otak secara optimal
Semua orang yang dihadapkan pada masalah, biasanya berpikir untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti tukang becak yang ban becaknya kempes, ia akan berusaha mencari tukang tambal ban terdekat. Dalam proses  mencari dan memilih tempat tambal ban, otomatis tukang becak telah menggunakan otaknya untuk berpikir.
Masalahnya bila mahasiswa cuma memakai otaknya sesederhana tukang becak atau anak SD, percuma saja sekolah tinggi-tinggi hingga ujung-ujungnya apa yang dilakukan nggak ada bedanya dengan sekolah tinggi atau nggak sama sekali. Malu dong!
2. Mampu menyaring dua informasi atau lebih hingga dapat membuat informasi baru
Seperti serial TV MacGyver yang ditayangkan tahun 1985, diperankan oleh Richard Dean Anderson, tokoh super cerdas yang bisa memanfaatkan lingkungan untuk menyelesaikan masalah, merupakan contoh yang paling keren untuk dikaitkan dengan kemampuan mahasiswa dalam menyerap beberapa informasi dan menghasilkan informasi atau formula baru.
Ini agak rumit memang. Kalau nggak sanggup, ya itu tadi percuma, mengeluarkan biaya besar buat kuliah untuk dapat selembar ijazah, gelar cuma dipajang di depan atau di belakang nama. Sementara kita juga nggak bisa apa-apa, selain kerjakan sesuai perintah.Â
Jangan salah! Mantan Menteri Penerangan era Presiden Soeharto, Bapak Harmoko yang sering menyebutkan, "Menurut petunjuk bapak presiden!" Itu orangnya justru kreatif, beliau bekerja bukan sekedar dikte dari atasan.
Segudang jabatan yang berat pernah dijalaninya dengan baik dan hasilnya juga diakui berguna. Nama beliau tanpa gelar apapun. Namun bisa menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sekelas doktor pun belum tentu sanggup berkinerja seperti dirinya.Â
Sah saja sih beranggapan mana ada yang mau menerima kerja bila nggak punya ijazah. Duh!
3. Memiliki waktu khusus untuk berkontemplasi
Melakukan kontemplasi untuk merenungkan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan, seharusnya menjadi pembeda antara yang terdidik dan tidak terdidik. Sayangnya, banyak yang gagal melakukan perenungan tingkat tinggi ini. Padahal tegas-tegas dinyatakan dalam Q.S. Al-Imran : 190-191 mengenai kewajiban berpikir, merenungkan kejadian penciptaan alam. Untuk bisa disebut sebagai ulil albab.
Rasulullah SAW bahkan menyatakan bahwa orang yang paling cerdas adalah yang banyak mengingat kematian. Mengingat untuk apa alam semesta dan manusia diciptakan serta kematian yang pasti akan dialami seluruh yang bernyawa.Â
Jadi, bukan Einstein atau Newton saja ya yang cerdas atau ilmuwan ber IQ di atas rata-rata.Â
Nah, setuju atau tidak masalah kecerdasan yang harus dimiliki mahasiswa sesuai dengan uraian di atas, harus menjadi bahan renungan bagi yang ngakunya maha dari para siswa.
4. Punya hati nurani yang terasah
Hati nurani yang terasah dari seringnya merenung dan memperhatikan percakapan batinnya. Dalam kamus kita mengenalnya sebagai dialog batin. Dialog yang diucapkan pada diri sendiri. Tentang sesuatu hal tanpa di ungkapkan kepada orang lain.
Dialog batin bisa mengasah nurani agar lebih tajam dan berfungsi dengan baik. Bila ada mahasiswa yang punya dialog batin gitu-gitu aja, hanya seputaran soal cewek yang ditaksir, nonton film apa nanti malam, acara hangout jam berapa, pergi bareng siapa. Idih!
Nuraninya bukan terasah malah tumpul, akhirnya jadilah manusia sampah. Ups! Itu bukan ciri mahasiswa kita.
Mulai dari sekarang coba periksa kembali dialog batinmu. Apa sepantasnya sekelas mahasiswa atau masih tingkat pelajar saja.
5. Punya manfaat buat lingkungan sekitar
Mahasiswa semester akhir harus menjalani  program yang dikenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ada yang berseloroh dalam Bahasa Sunda KKN adalah Karalang Kuriling Nyatu (berkeliling untuk cari makanan), akibat seringnya kebiasaan mahasiswa yang terlibat dalam program yang berlangsung di desa-desa utamanya desa tertinggal, hanya urusan perut dan perut.Â
Dapat undangan pengajian yang dipikirkan hanya makan-makan. Walhasil mahasiswa yang seharusnya berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat sekitar hanyalah sebatas program belaka.Â
Bila ke empat hal yang telah disebutkan di atas di miliki oleh mahasiswa. Poin terakhir tentang pengabdian masyarakat, bermanfaat bagi lingkungan, bukan hal yang sulit diwujudkan. Karena pola pikir kita sudah optimal, nurani pun terasah, memiliki kemampuan untuk kreatif hingga bisa memilah masalah-masalah penting akhirnya punya solusi jitu yang bermanfaat.
Jadi, bila banyak mahasiswa yang sudah bergelar sarjana, magister bahkan doktoral terlihat tak bermanfaat malah menyusahkan masyarakat, periksa kembali otak dan nuraninya lalu banyak-banyaklah berkontemplasi.
DOA
Bandung, 3 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H