Bel masuk berbunyi tiga kali. Anak-anak kelas lima telah berbaris rapi dan masuk satu persatu, bersalaman dengan bu guru yang menyambut di pintu masuk. Setelah berdo'a dan memberi salam, anak-anak dengan tertib mengambil buku bacaan yang telah disediakan di pojok baca.
Pojok baca yang sangat sederhana, hanya ada satu meja dan tumpukan buku yang tertata rapi. Di dinding, di atas meja terdapat tulisan POJOK BACA berwarna kuning terang.
Hari ini giliran Jujun membacakan cerita anak di depan kelas. Biasanya anak-anak akan sangat senang bila diminta membaca di depan kelas, hanya Jujun yang malas dan berusaha menghindar.
"Ayo, Jujun! Kini giliranmu membacakan cerita, keraskan suaramu ya!" Seru Bu Guru Fridha memberi semangat.
Jujun melangkah ragu-ragu. Ia menggenggam kuat-kuat buku yang dibacanya tadi. Tangannya mulai gemetar. Bibirnya serasa dikunci memakai gembok besar sekali. Sulit rasanya untuk digerakkan. Kepala Jujun terasa pening.
Setelah terdiam beberapa saat, Jujun akhirnya membuka mulut dan membaca bait pertama, " Suatu hari di se... Sebuah desa terpen... Pencil, ada sebuah ke... Keluarga yang ting... Tinggal terpisah." Suara Jujun terdengar perlahan dan terbata-bata.
Anak-anak gelisah, teman-teman Jujun mulai tak memperhatikan dan mengalihkan pandangan pada buku cerita yang terletak dihadapan mereka. Bu guru dengan cepat mengambil tindakan.
"Baik anak-anak, hari ini sudah cukup Jujun membacakan ceritanya, dilanjutkan besok. Giliran ibu yang akan bercerita."
Serempak anak-anak berteriak, " Horeee!"
Semua terdiam, memandangi Bu Fridha yang sedang membelalakkan mata dan berkacak pinggang. Bu guru menirukan gaya anak sombong yang bernama Badu. Bu Fridha menggoyang-goyangkan gawai yang dipegangnya.
"Hai, Mira! Lihat gawai baruku! Keren, kan?" Seru Bu Fridha menirukan gaya Badu dalam ceritanya.