Jingga, kala hidup kadang kau rasa membahana karena kau mencintainya. Mencintai hidup karena kau mendapatkan kehidupan.
Kuning, kalau kau amat bersemangat dan ceria bersama sahabat, keluarga, orang yang kau cinta dan aku tentunya terselip di sana.Â
Hijau, ini kurasakan pula melingkupi hati dan hari-harimu, sayang. Warna penuh kesejukan, mendamaikan saat mata memandang, memburaikan segala khawatir yang menghadang dan menumbuhkan harapan baru. Ada tunas yang akan selalu tumbuh mengaping hidupmu. Itu pintaku dalam do'a yang kupanjatkan untukmu.
Biru, warna dasar hatimu, lihat saja langit memancarkan gelombang yang selalu menggoda hatimu, lautpun bersatu padu membuai dirimu untuk selalu merindukannya. Biru adalah tanda di mana rindumu mencapai batas tertinggi. Rindumu membiru. Rindu pada kedamaian yang selalu kau ciptakan untuk hidupmu. Biru kata sederhana letaknya ada dalam bahagiamu.
Nila, kegoncangan yang kau rasa adalah puncak bahwa selalu ada hal baru yang bisa kau temui dalam binar matamu. Nila bukanlah gambaran kotor semata, tapi hatimu bertugas menjadikannya mulia. Ia ada karena kau ada. Kau penyeimbang semua racun hingga menjadi sebuah asa. Disitulah pasti kau bahagia.
Ungu bukanlah warna terakhirmu. Bukan pula rasa suram yang bertumpu. Ungu adalah warna mentari yang berguna untuk semua yang bernyawa. Aku mendapatkan percikan "ungu" darimu membuat jiwaku penuh haru. Kau memang tercipta sepeti itu.
Di mana warna hitam dan putihmu?
Ah, kau penasaran juga rupanya...
Marilah kubisikkan. Melalui bisikkan penuh kasih dan sayang untukmu. Hitam adalah warna matamu. Bening yang yang hadir di hitam bola matamu, selalu menggodaku untuk menatap diam-diam. Indah, sungguh mempesona. Kau tataplah lagi tepat di empat puluh lima, pada cermin yang kau punya, sungguh itu yang terindah. Aku tak mungkin mengada-ada. Karena matamulah cerminan hatimu.
Bening matamu, sebening hatimu. Percayalah...
Putih?