Mari kita membaca berita ini yang dikutip dengan di edit seperlunya dari tempointeraktif.com :
"Dua dari hakim agung yang menghukum Rasminah, yakni Imam Harjadi dan M. Zaharudin, ternyata juga menghukum Prita Mulyasari dalam kasus pencemaran nama baik rumah sakit Omni-Tangerang.
Mereka berdua Juli 2011 bersama-sama menghukum pidana Prita selama 6 bulan dan 1 tahun percobaan dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni-Tangerang.
Berdasarkan penelusuran Tempo, kasus yang diputus hakim Imam dan Zaharudin memicu kontroversi. Contohnya, Imam Harjadi pernah mengurangi hukuman anggota DPR, Al-Amin Nur Nasution, dari 10 tahun menjadi 8 tahun dalam kasus korupsi alih fungsi hutan di Kabupaten Bintan dan Tanjung Api-api. Adapun Zaharuddin di pengadilan tinggi pernah mengubah status terpidana Abdullah Puteh dari tahanan rumah menjadi tahanan kota.
Inilah jejak-jejak hakim pemvonis kasus Rasminah...."
Berita tersebut menceritakan bagaimana Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tertinggi bagi pencari keadilan ternyata memutuskan perkara hanya berlandaskan kalimat hukum yang tertulis di KUHP saja. Celakanya Menkumham RI,Amir Syamsuddin juga memberikan komentar bahwa ybs menyetujui keputusan Hakim Agung yang memvonis kasus Rasmiah dari segi hukum. Hati nurani para Hakim Agung dan Menkumham RI sudah dibutakan dengan kalimat hukum yang tertulis di KUHP tanpa mempertimbangkan keadilan berlandaskan Pancasila. Kenapa Pancasila?
Selain sebagai dasar negara,Pancasila juga merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia,tetapi kini dilupakan oleh para pejabat kita sendiri. Pancasila yang mempunyai 5 sila yang menjadi tuntunan bagi hidup berbangsa dan bernegara bangsa ini diabaikan begitu saja dalam menimbang kasus-2 hukum untuk rakyat kecil. Pejabat yang korup dan disangka korup terus menerus mendapat "perlindungan" dari penegak hukum negara ini karena sama-2 mempunyai kepentingan. Entah kepentingan individual,golongan atau kepentingan saling melindungi satu sama lain. Tetapi rakyat kecil yang tidak mempunyai akses dan kepentingan menjadi korban permainan hukum yang tertulis di KUHP.
Kedua hakim agung yang memberikan keputusan bersalah kepada nenek Rasmiah diindikasikan hanya untuk menjaga kepentingan kolega mereka sesama penegak hukum yaitu jaksa dan polisi,karena hukuman yang dijatuhkan kedua hakim agung tersebut jumlah masa hukumannya sama dengan masa tahanan yang sudah diterima oleh nenek Rasmiah pada saat ditahan oleh pihak kepolisian/kejaksaan. Dengan demikian masa hukuman itu akan mempupuskan harapan nenek Rasmiah menuntut ganti kerugian kepada pihak polisi/jaksa yang secara sewenang-wenang menahan nenek Rasmiah. Atau indikasi yang lain adalah kedua hakim agung tersebut mendapat "pesanan khusus" dari pihak kepolisian/kejaksaan dan pemerintah dalam ini menkumham agar kasus nenek Rasmiah dijatuhkan hukuman sesuai masa tahanan yang sudah terjadi agar pengacara nenek Rasmiah (Hotma Sitompoel) tidak bisa menuntut ganti rugi. Semua indikasi tersebut tentu hanya kedua hakim agung tsebut yang tahu dan tentunya Allah SWT yang akan mengadili mereka kelak di akherat.
Keanehan yang lain terjadi pada kasus kasasi nenek Rasminah ini di MA ini,yaitu pendapat ketua majelis Hakim Artidjo Alkotsar yang membebaskan nenek Rasminah bisa kalah dengan kedua hakim agung yang memutuskan bersalah,keputusan hukum di MA yang menyangkut masa depan keadilan dilakukan dengan mayoritas suara dan anggota majelis hakim bisa tidak mau menurut dengan ketua majelis hakim,sandiwara apa pula ini? Yang jelas bukan berarti Artidjo Alkotsar adalah manusia "baik" ....ini juga bisa dipakai sebagai sarana promosi untuk menjadi Ketua MA berhubung Ketua MA sekarang akan pensiun. Benarkah demikian?
Ketidak-adilan hukum di Indonesia semakin dirasakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Para pejabat yang korup hanya dihukum ringan padahal uang yang dicuri dari negara begitu besar dan berjuta kali lipat dari harga sebuah piring,harga sebuah kelapa,dan lain sebagainya. Nurani para pejabat penegak hukum di Indonesia memang patut dipertanyakan.
Dan malangnya MPR RI dan DPD RI serta MK sebagai lembaga-2 tinggi negara yang mengontrol apakah pemerintahan ini sudah berjalan sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila hanya "diam" dan mengamini saja sepak terjang pemerintahan yang dikatakan terus menerus berbohong kepada rakyat. Memang negara ini benar-2 sudah di kapling untuk maling semua?