Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rully Akbar memperkirakan angka golongan putih (golput) atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014 diduga mencapai sekitar 34% dari jumlah pemilih yang tercatat di DPT sekitar 185 juta lebih.
Kenapa angka GOLPUT terus meningkat sejak Pemilu 1999...? Dimana pada Pemilu 1999 hanya 10,21 persen kemudian terus merangkak naik pada Pileg 2004 (sekitar 23,34 persen) dan pada Pileg 2009 sekitar 29,01 persen.
Analisis penulis adalah karena sistem Pemilu Legislatif dari 2004-2014 di Indonesia memang potensial mendorong orang untuk menjadi GOLPUT. Para penyelenggara Pemilu,dalam hal ini para politisi pembuat UU Pemilu dan Pemerintahan SBY sendiri serta KPU diduga sengaja merancang sistem Pemilu Legislatif ini untuk membagi-bagi kue kekuasaan negeri ini supaya tidak ada satupun parpol pemenang Pemilu menjadi mayoritas memperoleh kursi di DPR RI. Semakin tinggi angka GOLPUT,maka biaya politik yang dikeluarkan oleh parpol peserta Pemilu menjadi rendah,sebab Pemilu Legislatif sejak 2004 terus diwarnai oleh "Money Politics" atau politik uang yang disebar kepada rakyat yang hidupnya serta pendidikannya sangat sederhana. Jumlah rakyat pemilih yang seperti itu sangat besar jumlahnya di Indonesia.
Beberapa temuan yang menjadikan angka GOLPUT terus meningkat dan dibuat demikian,antara lain :
1. Mekanisme administratif yang rumit terkesan "njlimet" :
Dibuat mekanisme administratif yang sedemikian rupa agar seseorang akhirnya tidak bisa "nyoblos" karena tidak terdaftar dalam suatu TPS ; Selain tidak tercantum di dalam DPT (banyak warga masyarakat ditemukan pada Pilkada namanya tercantum di DPT,tetapi di Pileg ini tidak tercantum namanya),juga banyak warga yang namanya tercantum di DPT tetapi akhirnya tidak bisa nyoblos karena tidak ada ditempat. Seperti diketahui,rakyat Indonesia banyak yang merantau dan meninggalkan daerah asalnya untuk bekerja di daerah lain,juga para pemudanya banyak yang studi di daerah lain,diperkirakan jumlah warga masyarakat yang seperti itu sekitar 30% dari jumlah pemilih di DPT. Bagaimana mau mengurus formulir A5 di KPPS kalau formulir C6 (Undangan untuk memilih) dibagikan pada H-2 sampai H-1 sedangkan syarat mengurus formulir A5 harus membawa formulir C6 baik di KPPS maupun di KPUD ? Apalagi warga adalah kebanyakan bukan warga pengangguran yang setiap saat bisa menggunakan waktunya mengurus formulir A5,padahal kantor KPPS dan KPUD hanya sampai jam kerja saja bukanya...!
2. Daftar Calon Legislatif (Caleg) yang begitu banyak membuat bingung masyarakat.
Rakyat Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu di era ORBA dan Pemilu 1999 diajarkan untuk selalu memilih Partai Politik peserta Pemilu. Dengan hanya memilih gambar parpol,maka aturan Pemilu juga tidak rumit,TPS pun tidak perlu khawatir surat suaranya tertukar,dsb. Akibat Caleg yang begitu banyak jumlahnya,warga masyarakat terkecoh dan "dikecoh" seolah memilih Caleg,padahal setelah duduk di DPR RI para anggota Legislatif itu lebih tunduk pada parpolnya katimbang pada rakyat. Parpol pun bisa mencopot si angota legislatif tanpa ampun,walau ada mekanisme khusus pencopotan di DPR RI,tetapi itu hanya aturan formalitas saja,sebab yang menjadi Ketua-2 di DPR RI juga anggota parpol dan takut sama Ketua Umum atau Ketua Dewan Pembina parpol-nya.
Banyak Caleg hanya menjadi "vote getter" atau dimanfaatkan saja untuk menarik warga pemilih yang mengenal Caleg tersebut,tak heran di daftar Caleg muncul para artis dan "public figure" untuk menarik massa pemilih. Terlebih para Caleg pun juga orang-2 yang berduit agar bisa kasih / bagi-2 duit ke warga untuk mencoblos parpolnya. Intinya,percuma saja dibuat rumit dengan mencetak daftar Caleg kalau akhirnya yang berkuasa mekanisme Partai (bukan rakyat pemilih).
Ada indikasi,rakyat sengaja dibuat bingung dengan banyaknya Caleg agar akhirnya mempunyai pikiran,"Buat apa nyoblos? Pada tidak kenal itu Caleg koq dicoblos?" ; Dengan cara seperti itu,maka akan mendorong orang untuk menjadi Golput dan tidak heran setiap Pemilu angka Golput terus meningkat.
Dengan aturan coblos Caleg-nya itu,maka potensi untuk membuat Parpol baru atau Parpol diatur seperti "Perusahaan Pribadi" semakin tinggi ; Beberapa Parpol peserta Pemilu adalah parpol yang mengandalkan figur Ketua Umum yang sebenarnya sudah tidak laku di mata rakyat tetapi memaksa untuk tetap eksis,sehingga dibuatlah mekanisme "PILIH CALEG" dan itu sebuah kamuflase pembusukan politik terhadap rakyat Indonesia. Parpol yang sehat adalah sebuah organisasi politik yang tidak bergantung oleh figur seseorang,tetapi bergantung kepada profesionalitas dan jajaran mesin partai di setiap daerah.