Hasil Pemilihan Legislatif 2014 telah membuktikan betapa rakyat Indonesia berhasil dipecah-pecah oleh nafsu berkuasa politisi yang tergabung dalam partai politik peserta pemilu. Tidak ada satupun parpol peserta pemilu yang mempunyai suara mayoritas untuk berkuasa di Republik ini. Akibatnya parpol yang ada harus mencari mitra koalisi agar bisa mencapai "quorum" yang dikehendaki dalam Undang Undang untuk bisa mengajukan Presiden. Tetapi karena masing-masing parpol yang perolehan suaranya bisa menjadi "pelengkap" parpol besar untuk bisa mengajukan Capres,maka mereka seperti pemain poker yang memegang "kartu truf" ; Untuk siapa kartu truf itu akan dibuang tergantung pada penawaran tertinggi yang bisa diterima oleh parpol tersebut.
Idealisme mensejahterakan rakyat Indonesia ternyata akhirnya kalah dengan politik transaksional yang memang sudah menjadi budaya sejak zaman para raja-2 di era kolonialisme ; Raja-2 di Nusantara selalu melakukan politik transaksional dengan kolonial Belanda agar bisa berkuasa dan "menjajah" rakyatnya sendiri. Itulah hasil politik "devide et impera" yang dilakukan oleh kolonial Belanda untuk menguasai bumi Nusantara selama 3,5 abad.
Tak sadar apa yang pernah terjadi di masa lampau,sekarang ini para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia juga membawa alam feodalisme dan politik "devide et impera" gaya baru atas nama demokrasi. Dengan sistem multi partai serta pengaruh uang (money politics) yang semakin masif di Pemilu 2014,maka suara rakyat dibeli bahkan dipalsukan untuk bisa mendapatkan kursi sebagai anggota dewan. Rakyat pun tidak sadar dipecah-pecah karena mendapatkan uang,rayuan dan janji-janji palsu. Maka sekali lagi,hasilnya pun tak ada satupun parpol yang berhasil memperoleh suara mayoritas ; Yang menang adalah Demokrasi "devide et impera"...!
Demokrasi "devide et impera" sangat berbahaya dan kedepan akan menjadikan NKRI terpecah-pecah serta tidak akan pernah maju. Sebab kemajuan sebuah negara ditentukan dari "kesatuan" hati para penyelenggara negara bukan kesatuan karena "politik transaksional" yang sekarang dipraktekkan oleh para politisi melalui parpol-2 peserta pemilu ini. Uji coba "pemerintahan "transaksional" sudah dipraktekkan oleh SBY,dan hasilnya semua rakyat sudh merasakan selama 10 tahun ini. Tak ada satupun kemajuan yang bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Infrastruktur berjalan sangat lamban dan korupsi hampir merata dan meluas di semua sektor yang ada di daerah maupun pemerintah pusat. Akibatnya negara ini berjalan seperti negeri "auto pilot" karena kekuasaan tak bisa berbuat apa-2 karena saling memegang "kartu truf"
Melihat kondisi politik seperti ini,bila tidak ada perubahan dalam sistem Pemilu dan partai politik peserta Pemilu dengan garis yang jelas seperti yang ada di Amerika Serikat dan negara-2 demokrasi yang lebih maju,maka dipastikan iklim investasi di Indonesia tetap "high risk" dan bersifat jangka pendek saja. Juga kehidupan sosial politik rakyat Indonesia akan mirip seperti rakyat India,dimana pembangunan negaranya berjalan sangat lamban,kekayaan terpusat pada politisi dan senator korup serta konglomerat tertentu. Untuk bisa maju seperti Singapura atau bahkan RRT dan Jepang dengan sistem demokrasi "devide et impera" ini,barangkali rakyat Indonesia perlu menambah "jam tidur" agar bisa bermimpi lebih panjang.....!
Bagaimana pendapat anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H