Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Sempatkah Kita Membangun Tradisi Menulis?

2 Maret 2017   11:26 Diperbarui: 2 Maret 2017   11:44 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis memang bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti sulit untuk dilakukan. Banyak orang mengakui sering sekali kesulitan menuangkan ide ketika sudah berada di meja komputer ataupun di depan alat tulis dan kertas. Atau sebaliknya, banyak sekali ide yang ada di kepalanya dan tidak tahu mana yang harus didahulukan.

            Alasan di atas agaknya kini telah menjadi argumen penguat akan “ketidakmauan” sebagian besar orang untuk menulis.  Sikap merasa tidak mampu makin menguatkan pula bahwa masa depan “tulisan” menjadi tidak pasti di abad elektronik seperti masa sekarang. Budaya alfabetik terancam eksistensinya oleh kedatangan budaya audio-visual yang lambat laun menggantikannya. Pendewaan terhadap piranti audio-visual semakin menepikan peran “tulisan”.

            Kini kita saksikan banyak orang memilih untuk menyimpan pengetahuan, pengalaman hidup, dan  dokumentasi peristiwa sosial lewat sinyal-sinyal teknologi modern. Mereka tidak lagi memilih menyimpan peristiwa penting dalam kehidupan ini untuk disimpan dalam prasasti sejarah berupa huruf-huruf alfabetik yang terformat dalam tulisan dan buku-buku. Moderenisasi agaknya telah mengubah paradigma berpikir sebagian besar masyarakat untuk meninggalkan tradisi menulis yang telah dianggap “kurang up-date”.

            Lantas, pertanyaan yang perlu direnungkan bersama adalah: siapakah yang masih sempat membangun tradisi menulis di antara kita? Seberapa besar bangsa ini memandang perlu untuk terus membangun tradisi budaya menulis? Ataukan seberapa jauh pendidikan di negeri kita mampu berperan membentuk generasi berbudaya tulis?

            Pertanyaan tersebut tentu saja bukan pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban. Pertanyaan di atas adalah sebuah refleksi terhadap kenyataan sejarah dan bukti yang tak terbantahkan bahwa penemuan prasasti berupa tulisan di masa lalu telah begitu banyak mendorong kehidupan kultural dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Tulisan dalam buku-buku peninggalan masa lalu sudah menjadi bukti bahwa tradisi alfabetik yang diajarkan nenek moyang kita menjadi tempat penyimpanan pengetahuan terbaik sepanjang masa, dan perannya tidak tergantikan hingga abad modern saat ini.

            Pepatah mengatakan ‘verba volant scripta manent’atau‘words fly away but scripts are permanent’ yang maknanya adalah kata-kata atau ucapan akan segera hilang ditelan angin, terbang entah kemana, tetapi tulisan niscaya akan abadi.

            Tentu saja, pergeseran pengetahuan dan teknologi pada abad modern yang kini berlangsung tidak bisa ditolak dan dihindari. Namun di sisi lain kita tentu berharap bahwa budaya alfabetik tidak akan lenyap secara total. Perlu kemauan dan usaha keras agar budaya tulis terus berkembang. Dan sebuah ikhtiar pembangunan budaya tulis ini menjadi tugas utama kantong-kantong pendidikan seperti sekolah dan sikap kecendekiaan yang harus dimiliki oleh para pendidik (guru). Dengan kata lain, sekolah dan guru adalah agen utama agar budaya alfabetik dalam tradisi menulis tidak musnah terlibas zaman.

            Seperti kita telah disinggung dalam pernyataan sebelumnya, kegiatan menuliskan pemikiran merupakan langkah yang semestinya dilakukan oleh orang-orang yang selama ini bergerak di dalam bidang pendidikan, pengajaran, maupun penelitian. Bukan bermaksud mengabaikan tuturan lisan yang selama ini disampaikan guru pada kesempatan mengajar di depan para murid. Tak juga ingin abai terhadap wejangan para guru, pernyataan di atas hanya ingin menegaskan bahwa jikalau apa yang diucapkan atau disampaikan lewat kata-kata atau ucapan lisan bisa dituliskan, pastilah akan memiliki makna ‘keabadian’. Apa yang ditulis setiap saat bisa dibaca, dirujuk, dilihat ulang, bahkan dipahami lewat deretan kata-kata yang tercetak rapi di dalam tulisan oleh penulisnya, bahkan oleh orang lain.

            Oleh karena itulah, renungkan kembali pertanyaan: Sempatkan kita membangun tradisi menulis? Sebab saya merasa bahwa guru memiliki kesanggupan untuk mengubah zaman lewat tulisan, guru mampu menyampaikan pesan-pesan dan tanda keabadian lewat deret huruf yang pada akhirnya mampu membangun hati nurani generasi bangsa dalam mempertahankan peradaban. Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun