Inovasi teknologi digital hadir untuk menyelesaikan permasalahan dan tantangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Kondisi demikian itu, menjadikan manusia, benda, dan  juga sistem yang ada menjadi sangat terhubung dalam suatu ruang maya atau  cyber.
Proses ini memberikan value baru yang tidak pernah dirasakan sebelumnya baik bagi industri maupun bagi masyarakat. Perkembangan industri jauh lebih masif, lebih efisien dan penggunaan tenaga kerja dan faktor produksi jauh lebih sedikit tetapi menghasilkan output yang jauh lebih banyak.
Sesungguhnya, buku ini berkisah tentang perjuangan, petualangan pergumulan jatuh-bangun yang seru dari dua wanita, tokoh sentral yang ingin menggapai mimpi-mimpi mereka, pada era digital ini. Mereka adalah Elsa Metta Devi dan Pristine Simanjuntak.
Elsa Metta Devi adalah seorang wanita muda, cantik, energik dan cerdas. Ia lahir dari keluarga yang cukup berada. Ia lulusan dari Jurusan Engineering di Nanyang University of Singapore (NUS). Jurusan yang semula tak banyak diketahuinya. Ia terdampar di jurusan itu hanya karena saat itu sedang demam dot.com, dan jurusan itu sangat populer dan bergaji tinggi. Elsa menggantungkan mimpinya untuk menjadi Taipan. Ia siap sedia membayar harga ambisinya dengan perjuangan, jatuh bangun, babak belur dan pantang menyerah. Ia mengawali kariernya dengan mudah, setelah lulus kuliah, di bidang Engineering, dan akhirnya berlabuh di "Joneslang Lassale" (JLL) Singapore. JLL adalah sebuah konsultan property terkemuka dari Amerika. Elsa bekerja sebagai Transaction Consultant, yang tugasnya melayani klien perusahaan untuk jual, beli, sewa property, memersiapkan listing dan kontrak, menganalisis tren pasar dan memberikan nasihat (advis) kepada klien. Ia juga mengintegrasikan segala elemen dalam transaksi.
Pristine Simanjuntak adalah seorang anak perempuan keturunan Batak dan tinggal di Jakarta. Ia punya panggilan sayang, Titi. Nama itu diambil dari sebuah sajak Batak: "Sititi ma sigompa, golang-golang pangarahutna...", yang bermakna: Biarlah hal yang kecil ini menjadi berkat bagi kita". Papanya seorang wartawan, dan ibunya seorang guru. Keluarganya memang keturunan guru. Mereka adalah keluarga Kristiani yang taat dan senantiasa berserah kepada Tuhan. "Apa rencana Tuhan bagi kami?" Itulah prinsip hidup mereka. Titi bercita-cita ingin menjadi pustakawan, meskipun cita-cita itu ditertawakan oleh papanya. Mamanya justru mendukung dan menasihatinya untuk menjadi seperti apa yang menjadi panggilan hidupnya. "Kalau Tuhan  berkehendak kamu harus jadi pustakawan, jadilah pustakawan. Mana tahu kamu bisa buat karya besar seperti Bunda Teresa?"  Titi segera penasaran untuk mengetahui siapa itu Bunda Teresa. Bunda Teresa, kata mamanya,  adalah biarawati Katolik  dari India yang mengubah dunia, dengan cara melakukan hal-hal kecil dengan cinta kasih yang besar. Segera saja Titi mengidolakannya. Ia mulai membaca buku-buku tentang biarawati itu, dan bahkan ingin menemuinya di India. Sayangnya keinginan itu tak pernah menjadi kenyataan, meskipun ia sudah menjadi relawan di India. Jiwa dan semangat Bunda Teresa itulah yang justru terpateri di hati Titi.
Lulus kuliah dari Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia dengan predikat Magna Cumlaude, ia bekerja magang di Komnas HAM di bagian Arsip. Lalu ia bekerja di perusahaan rokok, kebun binatang dan lain-lain.  Di luar dugaan papanya, ternyata pustakawan banyak dicari jasanya terutama untuk keperluan pengarsipan. Di perusahaan, gelarnya bukan pustakawan, tetapi Manager  Arsip. Gajinya cukup besar, dan dapat membungkam ocehan papa, tetapi Titi terus terobsesi untuk menjadi seperti Bunda Teresa. Makanya ketika ada tawaran menjadi pustakawan di  Timika Boarding School yang dikelola oleh Yayasan Mulia Cinta Asih dan didanai oleh CSR PT. Freeport Indonesia di Papua, ia pun menerimanya. Ia ingin berbakti demi kemanusiaan seperti Bunda Teresa.
      Elsa dan Titi dipertemukan di  warung pinggir jalan di daerah Banjar, Jawa Barat. Elsa yang sedang terpuruk karena bisnisnya ambruk, mendapatkan saran dari teman-teman kuliahnya di NUS yang sedang berada di Jakarta, karena akan menghadiri pernikahan teman kuliahnya di Yogya.  Christine Lee, sahabat lamanya menyarankan agar Elsa menenangkan diri dengan mengikuti meditasi Vipassana di Vihara Brahma Arama di Buleleng, Bali.
Sesuai dengan petunjuk dari langit yang sering dilafaskan oleh Elsa sebelum melakukan pekerjaan penting, Christine menasihati Elsa agar melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Jogjakarta terus lanjut ke Bali sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan yang begitu indah. Bahkan Christine mengaku jika ia tidak sibuk bekerja, ia ingin juga melakukan traveling keliling Indonesia. Â Berkat diorongan teman-temannya itulah Elsa akhirnya memutuskan untuk melakukan petualangan, trail Jakarta-Bali dengan motor "Kawasaki Ninja", milik Ryan, adiknya.
Sementara itu Titi, yang sudah menjadi pustakawan di Papua, mengajukan cuti untuk pulang kampung ke Jakarta gegara mau mengikuti Pilkada. Selama cuti, sebagaimana seorang petualang backpacker, ia ingin  mengikuti lomba lari dalam event "Merdeka Jogja Marathon" sambil tentunya wisata ke Candi Borobudur dan daerah-daerah lain yang tak kalah menariknya. Titi menggunakan kendaraan bus umum. Sialnya, di kota Banjar ada beberapa penumpang baru yang naik ke dalam bus yang ditumpanginya. Sesudah itu bus senantiasa mengalami masalah di jalan: macet, ban bocor, ban terjerembab di lubang, mesin rusak. Meskipun sudah diganti dengan bus lain, masalah belum selesai. Ternyata setelah diselidiki, supir bus, orang Batak yang bernama Johan Ginting menemukan masalahnya karena di dalam bus ada dua nama Simanjuntak. Pristine Simanjuntak dan Isabella Simanjuntak. Menurut legenda Batak, Simanjuntak  depan dan Simanjuntak belakang tidak boleh bertemu, karena selalu membawa sial. Oleh karena itu salah seorang dari Simanjuntak itu harus turun. Titi yang harus turun, ongkos dikembalikan. Jadilah ia berjalan kaki menelusuri jalan panjang, karena tidak ada angkot,  sampai akhirnya bertemu Elsa di warung pinggir jalan.
Mereka sepakat untuk pergi ke Jogja berboncengan motor sambil mengunjungi objek-objek wisata yang mengesankan. Mereka menghabiskan waktu sebelum melakukan tujuan masing-masing. Titi mengkiuti  lomba lari maraton, sedangkan Elsa menghadiri pernikahan teman kuliahnya. Sesudahnya mereka berpisah lagi. Elsa menunju ke Bali untuk menenangkan diri, sementara Titi kembali ke Papua yang sudah ditunggu oleh murid-muridnya.
Berbagai konflik yang dialami mereka berdua, Titi dengan kasus korupsi yang terjadi di Timika Boarding School, dan Elsa dengan bisnis digitalnya yang jatuh bangun, akhirnya mereka bertemu kembali setelah badai berlalu. Mereka membangun  sebuah startup. Private Equity (PE) didirikan dan dimiliki sahamnya secara 50 : 50 oleh dua founders: Elsa Metta Devi dan Pristine Simanjuntak. Startup itu namanya Donna, terinspirasi dari sebuah lagu Donna-Donna karya Joan Baez.