Udara menjadi bagian esensial dalam kehidupan berbagai makhluk hidup yang ada di Bumi. Bentuknya tak terlihat secara kasat mata tapi dapat dirasakan di setiap hirupan serta hembusan nafas setiap makhluk hidup. Terdiri dari 78,09% nitrogen, 20,95% oksigen, 0,93% argon, 0,04% karbon dioksida, dan gas-gas lain seperti neon, helium, metana, kripton, hidrogen, xenon, ozon, radon, udara merupakan suatu pondasi fundamental yang menyokong berbagai kehidupan di bumi termasuk melindunginya dari berbagai ancaman extraterrestrial (meteor, radiasi sinar ultraviolet, radiasi gelombang mikro,dan lain sebagainnya) maupun terestrial (bakteri tetanus dan botulinum). Udara seakan-akan terlihat seperti seorang dewi yang datang untuk memberi perlindungan kepada makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Namun, terdapat sifat Dewa Janus (dewa bermuka dua yang memiliki sifat baik dan buruk) di dalamnya yang bergantung pada perlakuan manusia dan makhluk hidup lainnya terhadap kondisi udara yang ada.
Semenjak revolusi industri terjadi peningkatan kadar] polusi udara dikarenakan penggunaan berbagai macam bahan tambang yang emisinya terlepas ke udara dalam jumlah yang cukup banyak. Apalagi baru-baru ini sudah mencapai apa yang disebut sebagai era revolusi 4.0 dimana terobosan-terobosan teknologi dalam sejumlah bidang antara lain : Robotika, Artificial Intelligence, nanoteknologi, komputasi kuantum, teknologi nirkabel generasi ke-5 (5G), dan berbagai macam bidang lainnya mulai berkembang. Jika dilogika menggunakan nalar setiap terobosan pasti membutuhkan suatu sumber daya yang diambil dari alam seperti bahan tambang untuk membuat peralatannya maupun bahan bakar, bahan penghasil energi dalam proses operasionalnya. Ini pun menyebabkan berlimpahnya emisi karbon dan kerusakan lingkungan di sana-sini akibat penambangan bahan mineral yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, hasil dari terobosan-terobosan teknologi tersebut juga biasanya membutuhkan energi tertentu untuk bisa berfungsi sebagaimana mestinya seperti listrik (untuk komputer, mobil listrik, telepon genggam, dan lain sebagainya) dan bensin (untuk kendaraan bermotor dan generator). Ini pun semakin menambah kadar polutan di udara yang bisa mengancam kehidupan yang ada di bumi atau bisa disebut sebagai sisi jahat dari Dewa Janus yang ada di dalam udara.
Baru-baru ini dilansir dari CNN Indonesia Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa sekitar 93 persen warga DKI telah mengirup udara berbahaya dengan konsentrasi polutan lima kali lebih besar dari batas aman WHO sekitar 5 mikrogram per kubik. Konsentrasi polutan di Jakarta dalam satuan particulate matter (PM) mencapai 2,5 atau 25 mikrogram per kubik. Bondan Andriyanu, juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, menyatakan bahwa status kondisi udara seperti sekarang ini berada di ambang batas aman bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, dan disabilitas. Kemudian, menurut  data yang dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia polusi udara yang meningkat di sejumlah tempat terbukti tidak hanya memperburuk kondisi kesehatan, tetapi juga menghambat para pelajar untuk menyerap pembelajaran dengan lebih optimal. Ungkapan ini berdasarkan hasil studi di Cina dan Amerika Serikat yang memiliki tingkat polusi cukup tinggi sehingga terdapat sejumlah siswa atau pelajar yang terhambat dalam kemampuan matematika dan berbahasa. Dalam penelitian yang dipaparkan oleh sejumlah ilmuwan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, Senin (27/8/2018), para ilmuwan membandingkan hasi ujian tahun 2010 dan 2014 yang dilkakukan oleh 32.000 perepmuan dan laki-laki di berbagai propinsi di Cina. Dari penelitian ini, mereka mencoba mendokumentasikan bagaimana paparan polusi jangka pendek dan panjang memperngaruhi kemampuan kerja otak para peserta tes. Dengan membandingkan skor dari tahun 2014 dan 2010, para peneliti ini menemukan bahwa semakin tinggi konsentrasi polutan, semakin tajam pula penurunan nilai tes. Skor verbal dan matematika menurun pada paparan udara yang lebih besar. Dalam studi yang sama juga, para ilmuwan juga mengungkapkan kabut asap atau smog terhadap orang lanjut usia mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif dan sejumlah kasus Alzheimer.
Jika kasus pencemaran udara ini terus menerus terjadi tanpa diperhatikan secara serius sebagai suatu ancaman maka dampaknya bisa jauh dari apa yang dibayangkan, bahkan ketika dikonversikan dalam nilai mata uang, dampak polusi udara ini bisa berdampak besar (dilansir dari CNN Indonesia Selasa, 06 Sep 2022). Manusia memunculkan apocalypse factor-nya sendiri setelah kepunahan-kepunahan besar yang pernah terjadi sebelumnya di muka Bumi. Pendidikan yang seharusnya bisa semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman memiliki kemungkinan terjadinya suatu stagnansi dalam membangun para generasi penerus yang sangat esensial bagi masa depan. Para pemerhati pendidikan dan para tenaga pengajar seharusnya juga mengangkat partisipasi aktif dari para peserta didik dalam memperhatikan kesehatan lingkungan sekitarnya. Dalam sejumlah buku yang mengulas tentang pendidikan ada suatu contoh yang cukup menarik berasal dari negeri Finlandia. Finlandia terkenal dengan kualitas pendidikannya yang tinggi dan bahkan termasuk tempat yang masuk urutan besar dalam tes PISA. Di Finlandia para peserta didiknya seringkali diajak berjalan dan memeluk alam dalam upaya mengajarkan sains secara langsung kepada para peserta didik. Di sini para peserta didik pun akhirnya mampu terbangung di dalam dirinya suatu motivasi diri untuk sadar pentingnya sirkulasi udara bersih dalam lingkungan belajarnya. Di Indonesia hal ini masih seringkali kurang diperhatikan. Para pelajar berada dalam ruangan kubus maupun balok tertutup yang mengintimidasi dengan jendela-jendela tertutup dengan hanya bersirkulasikan udara dari putaran air conditioner. Alam sering terasa terpisahkan dari para peserta didik. Mereka hanya memahami alam secara teoretis saja bukannya memeluk dan bersentuhan langsung bagaimana alam ini sesungguhnya bekerja.
Semuanya kembali kepada setiap orang yang masih memiliki kepeduliasn untuk merubah pola pikir dan cara bertindak demi cerahnya dunia pendidikan dan Bumi. Jangan sampai planet yang seharusnya bisa kita tinggali dengan lebih baik ini menjadi nerka yang penuh emisi gas karbon layaknya planet Venus dimana tidak ada satupun kehidupan di sana, yang ada hanyalah badai atmosfer layaknya neraka. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir menggunakan akal budi dan mersakan menggunakan hati nurani mereka. Namun, apakah manusia sungguh-sungguh memanfaatkannya? Itu semua ada di tangan kita sebagai anak-anak planet biru ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H