Ketika aku menjumpaimuÂ
Seperti biasa dalam nuansa pagi yang masih sejuk.
Embun pun bergelayutan diantara dahan pohon.
Berbinar terpancar seperti bias pelangi.
Sementara di sebelah sana di pojok gedung perpustakaan. Sepasang burung di dalam sangkar hanya bisa menatap bisu.
Merenungi nasibnya yang membelenggu kebebasannya.
Namun ketika aku melintasi sebatang pohon mangga di depan ruang BK, yang biasa tersenyum menyapaku setiap pagi....
Tak kulihat lagi untuk hari ini.....
Bahkan hari-hari selanjutnya....
Hingga tulisan ini dimuat....
Yang ada hanyalah guratan-guratan lara yang menoreh hati....Â
Tangisannya seperti suara seruling yang terhembus angin. Menebar kemana-mana.
Kenapa engkau tanam aku?
Tiga tahun lamanya kau tanam dari kecil.
Waktu yang cukup lama untuk menunggu berbuah...
Namun... Ketika tiba masanya untuk mulai berbuah, engkau justru menebangku....
Untuk apa engkau menunggu tiga tahun lamanya?
Untuk apa.....
Tidak cukupkah aku menangis tersia-sia?
Pohon mangga itu meratap pilu. Karena merasa gagal tidak bisa bersedekah buahnyaÂ
Sementara di sisi lain mas Toro tersenyum sambil menikmati kopi hangatnya. Menikmati kesendiriannya. Berteman dengan angin kemarau yang dingin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI