Terbangun aku ketika cahaya mentari menerobos di sela pecahan genting di ujung kamarku. Cahayanya yang hangat menari di wajahku seakan untuk sekedar menyapa 'selamat pagi'.Â
Ku sibak tirai yang mulai usang itu. Usang ditelan oleh waktu detik demi detik. Pikiranku menerawang menembus jendela kamarku. Terbang mengitari langit biru. Menyentuh gambaran kelabu potret masa lalu.
Waktu tak terasa begitu cepat berlalu. Hari demi hari lewat bagai kibasan mimpi. Masih terasa hangat dalam pikiranku. Seakan baru saja terjadi.
Aku masih merasakan sentuhan kasih sayangmu. Masih terekam jelas dalam sanubari. Dan menyelimutiku dikala tertidur lelap. Menimangku ketika aku kecil dulu.
Aku sadar. Aku tak bisa lagi merasakan hangat kasih sayangmu. Tak pernah ku jumpa lagi lembut tutur katamu tenangkan aku dikala resah. Dan doa-doa yang tak pernah putus sepanjang hari.
Rindu ini terasa terus mendera, dan menghunusku dengan ribuan torehan lara. Rasa sakitnya hingga ke relung hati. Perih seperti tersayat sembilu.Â
Aku hanya bisa berharap kelak berkumpul lagi di telaga Kausar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H