Terik mentari tepat di atas kepala, Terang cahyanya membakar segala yang ada di atas bumi. Dedaunan pun mencoba untuk tegar bertahan. Seakan semua cairan tubuhnya menguap menuju ke langit.
"Tung...." tidak berapa lama terdengar suara yang tak asing di telingaku. Es krim Lik Paiman. Yang sudah branding sejak aku SMP dahulu, membahana namanya dikenal di kalangan anak-anak.
Es Krim Lik Paiman tidak lekang oleh waktu. Disaat terik seperti ini, mampu menyejukkan hatiku. Membuat sejuk sampai ke ulu hati. Membuat terik laksana salju.
"Kok baru nongol Lik Man?", tanyaku "Anu mas barusan pulang dari Sukoharjo", jawabnya girang.
Namun sejak muncul wabah covid-19 kepopuleran es krimnya menurun. Anak-anak pun enggan untuk membelinya, Takut. Bahkan ketika Lik Man lewat sudah membuatnya tidak tertarik lagi.
Kali ini tatapan Lik Man kurang bersemangat. Wajahnya murung seperti seorang kekasih yang sedang dirundung rindu.Â
"Begitulah mas, sejak muncul covid-19 usahaku jadi sepi gini", dia setengah curhat.
"Kan sedang phisycal distancing lik" jawabku
"Lha gimana lagi mas, anak istriku butuh makan. Kalau semua di rumah ya kelaparan. Mestinya yang berkompeten memberi bantuan", lanjutnya.
"Ya udah akhirnya saya gentayangan cari nafkah mobat-mabit mas pontang panting ", jawabnya.
Senyum Lik Man kian parau. Wajahnya pun dipaksa untuk tegar. Biarlah waktu yang sebentar ini berbicang membuatku begitu paham suara hatinya. Dan burung pun ikut tersenyum menyongsong hati ditengah covid-19 yang melanda.
Penulis : KBC-50 Teguh Wiyono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H