"Ya Mak", jawab Anton.
"Tuh, kakakmu masih tidur, yuk kita bangunin", Tumini mendekati Amir.
"Amir, Amir, bangun dong, yuk kita sholat subuh", Emaknya membelai lengan Amir
"Oahhhm.... Waduh udah pagi ya mak", matanya nanar mencoba melihat keluar jendela menembus kegelapan pagi.
Amir pun beranjak diikuti Emak dan adiknya, mereka pergi ke jedhing tempat air wudhu yang tak jauh dari dapur.
Begitulah gambaran kejadian di pagi buta ini, sesuatu yang sungguh biasa dalam rumah tangga Tumini. Baginya, anaknya adalah pusaka yang sangat berharga. Yang selalu membuatnya tegar, yang selalu membuatnya hidup dengan cahaya yang indah berkilauan.
Hari pun beringsut pagi tatkala sang surya tersenyum menyapa, dan burung pun bersenandung di atas pohon mangga di depan rumahnya. Saat itu begitu cerah saat Tumini mengemasi dagangannya.Â
Dia hanya seorang penjual pecel yang menghidupi dua anaknya. Di benaknya tak ada yang bisa membuatnya bahagia selain bisa memberi makan anak-anaknya.Â
Jaman ini adalah jaman yang serba susah, harga-harga semakin melambung tinggi. Untuk membeli beras saja harus beras yang paling murah dan banyak kutunya. Tak apalah, yang penting anak-anakku bisa makan. Ada juga tetangganya yang menggoda, namanya Warti.
"Hei Tumini, kamu kan masih muda, apa enggak kepikiran untuk mencari suami lagi....", tanya Waginem tetangganya yang gemuk itu.
"Wah, enggak kepikiran yu, saya masih ingin merawat anak saya dulu", Tumini menyahut.