Seiring senja merangkak masuki malam, menjadi kelam semua yang nampak, samar tanpa cahaya hanya sebatas mata memandang.Â
Kupandang raut wajahmu jauh menembus awan. Menembus semua kejadian yang aku alami satu demi satu. Dan tak ada satupun yang kau hiraukan.
Ah terlalu lemah kamu. Sedikit musibah itu menjadikanmu manja. Berbelas kasihan dan mengasihani diri sendiri
Begitu rapuh jiwamu, seperti sebatang kayu tua yang lapuk, tanpa atap yang memayungi, ya hanya sebatang kara.
Tidakkah kau lihat aku? seekor kucing tua yang lusuh tanpa seorangpun yang berbelas kasih.Â
Berkelana di atas dunia yang kejam. Gamparan dan pentungan sudah sering aku alami. Tak kah kau lihat lusuh wujudku selusuh apa yang aku makan.Â
Apa pula engkau mengeluh, sementara dunia sudah engkau genggam. Sementara jabatan sudah engkau rengkuh. Mungkinkah semua yang ada di dunia ini hendak pula engkau makan? Dan kau sisakan aku tulang kering?
Sungguh keluhanmu membuatku geli. Keluhanmu itu hanyalah sekecil kuku dari deritaku. Diamlah atau kutampar engkau. Dengan rasa malu.
Aku hanyalah seekor kucing lusuh, yang terkapar dibawah langit. Di ujung waktu yang terus bergulung.Â
Penulis: Teguh Wiyono
KBC-50