Mohon tunggu...
Teguh priyo sadono
Teguh priyo sadono Mohon Tunggu... -

dosen pascasarjana Universitas Bunda Mulia Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revolusi Bunga, Bentuk Perlawanan Kaum Terpelajar

10 Mei 2017   16:48 Diperbarui: 10 Mei 2017   16:51 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Bunga sebagai bentuk perlawanan kaum terpelajar.

Oleh

Teguh Sadono

Ribuan bunga membanjiri balai kota sehari setelah kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahook, demikian pula konser kebangsaan dipimpin musisi kondang Adde Ms digelar dibalai kota setelah penetapan Vonis 2 tahun atas penistaan agama. Bahkan fenomena bunga terus menyebar tidak hanya soal Pilkada DKI tetapi menyasar ke Instansi TNI dan Polri untuk segera belakukan tindakan tegas menangkal radikalisme. Semua ini fenomena menarik yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah Republik ini. Seorang Gubernur kalah dalam kontestasi Pilkada dan divonis bersalah dalam penistaan agama mendapat simpati yang begitu besar. Realitas fenomenal yang dikemas dalan narasi “Revolusi Bunga” tersebut memancing pertanyaan besar apakah “revolusi bungga”, sebagai ungkapan kecintaan warga atas pemimpinya yang telah mampu memberikan tingkat kepuasan warganya diatas 70%. Atau sebuah gerakan sebagai bentuk perlawanan kalangan menengah terhadap strutur atau proses pelaksaan perpolitikan di DKI yang banyak menguras energi.?

Perlawanan ala James C Scott

 James C Scott seorang peneliti tentang revolusi agraria yang melihat tentang perlawan Petani terhadap dominasi struktural yang menempatkan petani dalam subbordinat struktur yang mapan kaum elite. Gaya perlawanan petani sehari-hari mempunyai pola yang unik serta berkaitan dengan proses politik yang ada saat itu, yaitu mereka melakukan perlawanan kecil-kecil setiap hari, seperti mengambil makanan, menipu, pura-pura patuh, mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar, melakukan sabotase, dan setetrusnya. Pola-pola perlawanan ini sama sekali tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan. Dan juga perlawanan ini tidak ditandai dengan konfrontasi yang besar-besaran dan menantang, akan tetapi apa yang dilakukan mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan-perubahan politik yang lebih besar.

Asumsi yang di sampaikan oleh Scott, perlawanan yang dilakukan oleh para petani ini dapat dikatakan bukan perlawanan yang tersetruktur seperti organisasinya kaum terpelajar. Akan tetapi mereka melakukan perlawanan sesuai dengan kemampuan mereka secara berkelompok maupun individu untuk merubah kondisi yang tidak mereka ingingkan. Perlawanan petani memang tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah.

Gerakan revolusi bunga yang dilakukan pendukung ahook memiliki pola seperti asumsi James C Scott mereka tidak semua bergerak secara terkordinir, mereka melakukan pola pola parsial namun menggunakan konsep simbolik yang hampir sama yaitu “Karangan Bunga” meski ada Kaktus, ada tumbuhan dalam pot bahkan music, ini menunjukkan pola perlawan yang dilihat dari kaum petani atas ketertindasanya dalam dominasi structural kaum elite. Aksi bersama maupun resisten individual pada pengirim bunga di balai kota menunjukkan indikator serupa dengan perlawanan petani ala james scott. Terlebih lagi gerakangan revolusi bunga tidak hanya berkaitan dengan pilkada, namun kearah tuntutan untuk bertindak tegas pada TNI dan Polri dalam menangani Radikalisme.

Sehingga revolusi Bunga bukanlah unjuk simpati semata namun bentuk pemberontakan atau perlawanan kaum terpelajar dalam menghadapi situasi demokrasi yang terjadi di Pilkada DKI.   Bila dikaitkan pesan yang disampaikan di balai kota dan di instansi pemerintah lainya menunjukkan adanya koherensi teks dengan kekecewaan para pendukung ahook yang merasakan adanya kekuatan idiologi komunitas, politik budaya yang mengintimidasi berjalanya demokrasi yang fair. Diskursus penistaan agama, tidak disholatkan maupun mengharamkan memilih pemimpin kafir telah dirasa menciderai demokrasi Pilkada. Vonis Hakim yang melampoi tuntutan Jaksa Penuntut Umum memperkuat perasaan adanya penekanan struktur atas etika demokrasi yang mereka harapkan. Tekanan structural dan budaya bertumpu pada idiologi komunitaslah membuat mereka tidak memiliki argumentasi rasional untuk melakukan perlawan.

Perlawanan Damai.     

Galtung  mengatakan dimanapun dan kapanpun jika masih terjadi pelecehan terhadap harga diri manusia maka disitu akan tumbuh subur benih benih kekerasan. Lepas dari proses pembingkaian wacana  Al Maidah 51 telah memancing kekerasan wacana berupa “penistaan agama” yang berujung pada intimidasi. Kondisi ini setelah Pilkada memancing timbulkan bentuk perlawaanan berikutnya dalam bentuk simbolik.

Bentuk bentuk kekerasan yang merupakan implikasi dari perlawanan menurut Galtung ada 3 bentuk kekerasan.  Kekerasan Budaya (cultural violence) dimasna kondisi mental pelaku kekerasan tidakan kekerasan sesuatu yang biasa karena didasarkan pada keyakinan akan kebenaranya sendiri. Kekerasan structural (structural violence) sebuah kekerasan yang secara sengaja dilakukan melalui mekanisme khusus. Dan kekerasan langsung (direct violence)berupa tindakan yang dilakuakn langsung untuk menyerang pihal lain.

Melihat dari realitas konflik pilkada DKI terlihat kedua pihak yg saling menyerang terjadi pada bentuk kekerasan budaya yang diekspresikan dalam kekerasan simbolik. Dalam kacamata semiotika sosial, tindak kekerasan merupakan representasi sebuah teks yang senapas dengan tindak tutur (speech act). Maka, tidak jarang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari ada ungkapan kasar atau halus. Kekerasan teks tersebut selalu memili motif yang melatarbelakangi tindak kekerasan tersebut. Halliday mengistilahkannya motive of text, setiap tuturan dan perilaku sosial senantiasa diiringi dorongan internal pelakunya.

Melihat dari hal tersebut bentuk bentuk perlawan dalam kontestasi Pilkada menunjukka perlawan teks yang di ekspresikan dalam bentuk intimidasi merupakan kekerasan cultural yang tidak mampu dikelola secara cerdik dalam konstruksi nilai nilai kemanusian dan logika public. Kondisi ini dapat dipastikan dalam ruang benar salah. Sementara perlawanan simbolik di balai kota tidak menunjukkan konstruksi kekerasan dalam high Speech, namun di konstruksi dengan cerdas dalam simbolisasi bunga bukan dalam ujaran ujaran kebencian. Kenyataan ini tentu membutuhkan kecerdasan yang hanya bisa dilakukan oleh kaum terpelajar. Sehingga reolusi Bunga pada dasarnya perlawanan simbolik kaum terpelajar.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun