Sembari ngopi dan ngerokok, nikmati pagi dengan tulisan ringan ini.
Nada dan senjata!
Sedikit sekali studi yang membunyikan kedudukan "musik" dalam hubungan internasional, paling tidak peranan musik populer dengan penulisan yang juga populer. Sesungguhnya semua berasal dari kenyataan bahwa masih belum bisa ditemukan hubungan langsung antara musik dan politik, tentang seberapa jauh musik bisa menciptakan perubahan sosial dan/atau politik. Bahkan yang paling mendasar, sesungguhnya belum ada konsensus bagaimana musik mempengaruhi aktivitas otak manusia.
Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa kemampuan bermain musik bisa memiliki efek yang sangat kuat bagi mereka yang memiliki masalah kognitif di otak atau mereka yang memiliki masalah ingatan jangka pendek. Namun pengaruh musik untuk bagi tujuan yang lebih praktis dan lebih luas belum bisa ditemukan. Tidak bisa ditemukan bukti untuk mendukung asumsi bahwa mendengarkan karya Wolfgang Amadeus Mozart bisa membuat anda menjadi lebih pandai dan cerdas.
Musik adalah satu-satunya stimulus yang bisa membuat semua bagian otak kita bekerja, dibandingkan bentuk seni yang lain. Dalam perspektif yang lebih luas, kesulitan mencari hubungan antara musik dan politik, juga disebabkan karena musik adalah media yang paling cair dan fleksibel yang membuatnya bisa dengan mudah disabotase dan disalahgunakan untuk kepentingan jahat. Contoh paling kerap dipakai adalah bagaimana musik utopis Richard Wagner di(salah)gunakan oleh Hitler untuk kepentingan utopia yang lain, fasisme. Contoh yang lain adalah bagaimana musik dari serial pendidikan anak-anak Sesame Street digunakan sebagai alat untuk melakukan penyiksaan bagi tawanan perang di Iraq, Afghanistan dan Guantanamo. Musik lain yang digunakan dalam teknik penyiksaan ini adalah musik dari band rap-metal Rage Against the Machine, yang justru kita kenal sebagai grup yang sangat Marxis dan menyerukan revolusi melawan kekuatan kapitalisme. Majalah Spin melaporkan bahwa dalam metode penyiksaan ini baik musik Sesame Street maupun Rage Against the Machine, bersama dengan Metallica, Eminem dan AC/DC, diputar seharian penuh dengan volume maksimal sehingga tahanan tidak bisa tidur, sehingga mereka mengalami disorientasi dan menjadi lemah.
Juga sebaliknya, musik yang sesungguhnya keras atau penuh ide tentang kekerasan malah bisa digunakan untuk tujuan damai dan mulia, sebagaimana musik Velvet Underground bisa menjadi inspirasi bagi sebuah revolusi yang menumbangkan rezim komunis. Bagaimana pengaruh Velvet Underground terhadap revolusi menjatuhkan rezim komunis di Cekoslowakia melalui Velvet Revolution sudah banyak terdokumentasi. Pemimpin revolusi itu, sastrawan Vaclav Havel, pernah berkunjung singkat ke Amerika Serikat di tahun 1967 dan sempat mendengar Velvet Underground ketika berada di sana. Ketika kembali ke Praha, Havel kemudian berbagi musik Velvets ini kepada seorang seniman bohemian Ivan Jirous. Keduanya kemudian menjadi orang dibelakang sebuah band bernama The Plastic People (di ambil dari nama awal Velvet Underground, the Exploding Plastic Inevitable). Dan ketika Plastic People ditangkap dan dibubarkan rezim komunis, Havel dan Jirous adalah yang kemudian mengobarkan protes sosial yang berakhir menjadi revolusi menggulingkan rezim komunis di Ceko di akhir dekade 1980-an.
Yang tidak terlalu banyak didokumentasikan adalah bagaimana peranan band Sonic Youth dalam menciptakan peluang kebebasan terhadap anak-anak muda Uni Soviet di akhir dekade 1980-an, yang kemungkinan besar telah membantu menciptakan kesadaran baru untuk menjatuhkan rezim komunis di bawah Gorbachev waktu itu. Di liner notes proyek reissue album masterpiece Sonic Youth, Daydream Nation, kritikus Roy Farrell menulis bahwa: “In Kiev, where the venue was packed with enthusiastic kids hungry for a great Western rock band. Here…the entire audience swayed it’s arms to Carpenters’ “We’ve Only Just Begun”. Dan tur ini bahkan terancam tidak berjalan, karena kementerian kebudayaan membatalkan dua pertunjukan awal mereka.
Sonic Youth—sebuah band yang memaikan musik abrasif seperti halnya Velvet Underground, tidak pernah secara literer menulis tentang perlawanan dan lebih sering menulis lagu soal heroin, apatisme dan slackerdom, namun di Uni Soviet mereka menjadi sangat politis. Karena musik mereka di larang masuk oleh rezim komunis, sebuah label lokal, perusahaan milik negara Melodiya Records-lah yang justru membajak album mereka dan mengedarkan secara luas di Uni Soviet.
Contoh kasus Velvet Underground dan Sonic Youth di atas memberi bukti kepada kita tentang kekuatan musik sebagai apa yang disebut oleh Joseph Nye sebagai “soft power”. Ini adalah operasionalisasi dari apa yang disarankan oleh Nye bahwa: The United States can dominate others, but it has also excelled in projecting soft power, with the help of its companies, foundations, universities, churches, and other institutions of civil society; U.S. culture, ideals, and values have been extraordinarily important in helping Washington attract partners and supporters.”
Namun ada sebuah paradoks di sini. Amerika Serikat, atau negara manapun yang ingin berhasil dalam menjalankan strategi dalam kerangka soft-power, ironisnya harus sadar bahwa musik dan kebudayaan justru harus berjalan secara alami, bottom-up, swadaya dan hanya boleh sedikit mendapat dukungan dari negara. Keberhasilan Sonic Youth, Sonic Youth atau musik-musik Indonesia yang menjadi indie darling di Malaysia atau Singapura adalah karena dia adalah sebuah kekuatan organik yang berjalan dengan logikanya sendiri dengan sedikit atau bahkan tanpa campur tangan negara.