Mohon tunggu...
Teguh Suandi
Teguh Suandi Mohon Tunggu... profesional -

Software Developer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinara

10 Juni 2013   23:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras mengguyur kawasan selatan Yogyakarta, bajuku sempat basah terkena tetesan air hujan yang bocor tepat dari atap warung angkringan tempatku biasa menghabiskan senja. Siaran televisi menayangkan kerusuhan di Jeddah tentang TKI yang berebut mengurus visa di kantor KJRI. Budaya antri nampaknya memang masih susah diterapkan bagi sebagian penduduk negeri ini. Sesekali kuseruput teh jahe yang tadi kupesan untuk sekedar menghangatkan badan, Jogja yang biasanya panas terlebih dibagian selatan bisa juga terasa dingin.

Waktu menunjukkan pukul 17.30 ketika hujan mulai mereda dan akhirnya hanya berupa gerimis tipis, aku melangkah dengan terlebih dahulu melipat ujung celana agar tidak kotor oleh genangan air. Sesaat kemudian adzan maghrib berkumandang dari masjid Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak yang tak jauh dari lokasi angkringan dan dari beberapa masjid yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Kupikir orang sini akan kerepotan jika harus menjawab semua adzan dari semua masjid yang ada, saking ramainya terkadang aku sendiri kerepotan ketika menjawab panggilan adzan.

Aku menyusuri jalan Jogokariyan, jalan yang sebentar lagi akan ramai dengan penjual makanan ketika tiba bulan suci Ramadhan. Tujuanku adalah sebuah masjid yang terletak persis di samping jalan Jogokariyan, namanya Masjid Jogokariyan, masjid yang november tahun lalu mengadakan semacam perlombaan untuk jamaahnya dalam keaktifan shalat berjamaah dan juga hafalan beberapa surat seperti Ar-Rahman, Al-Waqiah dan Al-Mulk. Tak tanggung-tanggung, hadiah yang ditawarkan adalah paket umroh.

Suasana masjid nampak ramai oleh jamaah dari berbagi kalangan, mulai dari lansia hingga anak-anak kecil, dari ibu-ibu sampai dengan gadis-gadis, semuanya nampak khusyuk mendengarkan lantunan ayat suci al quran yang dibacakan Imam. Aku tiba cukup telat, selesai mengambil wudhu ternyata imam sudah selesai membaca surat Al-Fatihah, beruntung masih tersisa satu space kosong di shaf paling belakang.

Selesai sholat sunnah ba’diyah maghrib aku beranjak keluar dan meneruskan berjalan kaki masih di sepanjang jalan Jogokariyan. Entah kenapa perasaanku agak sedikit melancholic malam ini, langkah kakiku sengaja kuperlambat hanya untuk menyaksikan lalu lalang kendaraan sambil waspada terhadap beberapa genangan air yang masih tersisa. Bias lampu-lampu jalan disepanjang jalan Jogokariyan nampak terlihat berbeda dari balik kacamataku yang sedikit demi sedikit ditetesi gerimis tipis. Nampak berpendar, membulat dan memancarkan sinar yang redup.

Pintu kaca itu bergeser ketika jarakku hanya tinggal beberapa langkah, aku memasuki salah satu supermarket di Jalan Parangtritis. Pandanganku mencari-cari seseorang, detak jantung lambat laun meningkat dan nafasku mulai berangsur tak teratur. Baris satu, baris dua, baris tiga, baris empat, baris lima.. ah.. dia tak ada, apakah dia baik-baik saja? Sesuai perhitunganku harusnya hari ini jadwal kerja dia adalah shif siang yang artinya jam segini harusnya sudah ada disini, apa dia sakit? Ada apa ini? Perasaanku tak karuan sekaligus bingung.

Kususuri bagian makanan ringan, seperti mencari-cari sesuatu tapi aku sendiri bingung dengan apa yang kucari, sejujurnya tak ada niatan untuk membeli cemilan apapun malam ini. Mataku masih menatap bagian kasir satu per satu, namun tetap saja aku tak melihatnya. Lebih dari 15 menit aku hanya berkeliling dari satu rak ke rak yang lain, mulai dari minuman, snack dan beberapa cemilan produk luar negeri, berpindah ke bagian ikan, seafood dan daging lalu ke rak yang dipenuhi dengan berbagai perlengkapan rumah tangga. Kakiku tetap melangkah namun mataku masih mencari-cari sosoknya, aku yakin malam ini dia ada disini, mungkin saja begitu aku tiba dia sedang ada keperluan, kulihat di beberapa tempat kasir memang terpajang tulisan TUTUP.

Langkah kakiku terhenti ketika melihatnya di salah satu tempat kasir yang tadi masih terdapat tulisan TUTUP. Dinara namanya, aku tak pernah berkenalan dengannya karena tak punya nyali untuk meperkenalkan diri, aku hanya berani melihat indah matanya sekilas dan tak sengaja kubaca namanya dari name tag yang terpasang di seragamnya tepat seminggu yang lalu.

Dinara, nama yang beberapa hari terakhir hadir dalam lamunanku ketika menjelang kuterlarut dalam mimpi. Nama yang indah seindah bola matanya. Niatku yang tak ingin membeli apa-apa kubatalkan, dua coklat Van Houten kuambil dari rak yang berisi tumpukan coklat berbagai merk. Satu bungkus kerupuk ikan produk internal supermarket juga kuambil, dan terakhir aku membeli satu botol minuman dingin rasa lemon. Kulihat Dinara cukup sibuk dengan beberapa customer, senyumnya manis kepada setiap pembeli yang akan membayar barang belanjaannya. Sayup-sayup terdengar suara Agnes Batlsa dengan There Will Be Better Days Even For Usnya dari pengeras suara yang terpasang di langit-langit supermarket, aku mengamini dalam hati. Suaraku semakin melemah ketika antrian makin berkurang, aku sempat menolak dan memberikan jatah antrianku untuk ke kasir lain sebelumnya.

Ingin rasanya kusapa “Hai Dinara, apa kabarmu hari ini? Tahukah kau bahwa ada rindu yang mungkin datang terlalu cepat?”, mulutku seakan terkunci rapat ketika berhadapan langsung dengannya, senyumnya yang hangat justru semakin memperparah, kukeluarkan uang 50 ribu dengan tangan sedikit bergetar. Sikapku yang sedikit salah tingkah nampaknya terbaca oleh teman kasirnya, sempat terdengar “ehm..” dan ketika kulihat ke belakang hanya kudapatkan sebuah senyuman dan kemudian dia fokus kembali dengan pembeli berikutnya.

Tatapan mata kami sempat saling beradu ketika dia menyerahkan uang kembalian, niatku untuk memberikan satu batang coklat yang tadi kubeli padanya malah membuat nyaliku semakin menciut. Akhirnya untuk menghilangkan salting yang semakin menjadi kuambil bungkusan belanjaku dan berlalu dari hadapannya. Aku masih mencari cara dan mengumpulkan keberanian, kuputuskan untuk menarik uang tunai di ATM yang tak jauh dari deretan kasir, padahal untuk beberapa hari kedepan sebetulnya aku tak butuh uang cash banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun